LAPORAN KLIMATOLOGI PENGENALAN ALAT DI BMKG DAN AWAN

PENDAHULUAN
Klimatologi
adalah ilmu yang mempelajari keadaan rata-rata cuaca yang terjadi pada suatu
wilayah dalam kurun waktu yang sama. Cuaca merupakan keadaan fisik atmosfer
pada suatu saat dan tempat tertentu dalam jangka pendek. Unsur-unsur cuaca antara lain radiasi
matahari, suhu, kelembaban nisbi udara, tekanan udara, evaporasi, curah hujan,
angin, awan
dan lain-lain sedangkan iklim merupakan kondisi lanjutan dan merupakan kumpulan
dari kondisi cuaca yang kemudian disusun dan dihitung dalam bentuk rata-rata
kondisi cuaca dalam kurun waktu tertentu.
Stasiun
meteorologi adalah tempat yang mengadakan pengamatan terus-menerus mengenai
keadaan fisik dan lingkungan (atmosfer). Tugas BMKG adalah melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang meteorologi, klimatologi, kualitas udara, dan geofisika
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sasaran BMKG
dalam menyebarkan informasi yaitu penanggulangan atau antisipasi bencana
meliputi banjir, angin kencang, kekeringan, tsunami dan gempa. Alat-alat yang ada di stasiun
BMKG memiliki fungsi masing-masing seperti alat untuk mengukur radiasi
matahari, pengukur lama penyinaran matahari, pengukur suhu dan kelembaban udara,
pengukur suhu dan kelembaban tanah, pengukur tekanan udara, pengukur arah dan
kecepatan angin, pengukur curah hujan, pengukur tingkat penguapan air dan pengukur tingkat
kualitas udara.
Tujuan
dari praktikum ini adalah untuk mengetahui cara kerja dan fungsi alat-alat di
stasiun BMKG. Manfaat dari praktikum ini adalah agar kita mengetahui
pentingnya keberadaan stasiun Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisika
dan kita juga dapat mengetahui prinsip kerja, cara penggunaan alat, serta macam
dan kualitas data yang dihasilkan dari suatu alat pengukur analisis cuaca.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengukur Radiasi Matahari
2.1.1. Gunn-Bellani
Gunn-Bellani
merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur radiasi sinar
matahari. Gunn-Bellani adalah sebuah alat klimatologi yang berfungsi untuk mengukur besarnya
intensitas radiasi matahari yang menggunakan satuan Calori/cm2/menit
(Hernawati, 2014). Gunn-Bellani terdiri dari beberapa bagian. Komponen
yang menyusun Gunn-Bellani yaitu sensor berwarna hitam pekat berbentuk
bulat yang dilindungi bola kaca dan dihubungkan oleh tabung buret yang terdapat
skala mililiter (cc) (Suciatiningsih, 2013). Setiap alat klimatologi mempunyai
cara kerja yang berbeda termasuk Gunn-Bellani. Gunn-Bellani
mempunyai cara kerja yaitu radiasi matahari yang dipancarkan pada bola hitam
akan membuat bola hitam menjadi panas sehingga menyebabkan cairan pada bola
hitam menguap dan mengkondensasi pada bagian bawah tabung buret (Tambubolon,
2011).
2.1.2. Actinograph Bimetal
Metode yang
biasa digunakan untuk membaca total radiasi matahari yaitu menggunakan alat
yang bernama Actinograph Bimetal. Actinograph
Bimetal
adalah alat yang secara otomatis dapat mencatat total radiasi matahari harian
dengan menggunkan skala K Cal/cm2 (Makhdum et al., 2001). Actinograph
Bimetal
terdiri dari dua strip bimetal hitam dan dua strip bimital putih yang melekat
pada strip bimetal coupling. Bimetal warna putih mencerminkan radiasi matahari
dan strip bimetal hitam menyerap radiasi matahari yang dapat menyebabkan
perbedaan temperatur pada bimetal hitam dan putih, sehingga Actinograph
Bimetal
akan mencatat perbedaan temperatur yang terjadi untuk mengukur total radiasi
matahari harian (Nawawi, 2001).
2.1.3. Solarimeter
Solarimeter
merupakan alat pengukur intensitas radiasi matahari yang terpasang pada
stasiun-stasiun klimatologi. Solarimeter adalah alat yang memiliki sensor thermophile biasanya digunakan untuk
mengukur radiasi total yang terdiri dari radiasi langsung dan radiasi difusi
(Apriani, 2012). Cara kerja dari alat solarimeter adalah radiasi cahaya sinar
matahari akan menembus glass dome dengan
radiasi yang mempunyai panjang gelombang 3 µm kemudian diteruskan ke lempeng
logam hitam yang akan mengabsorbsi panas radiasi selain itu juga diteruskan ke
logam putih yang akan memantulkan radiasi sehingga terjadi perbedaan temperatur
pada kedua lempeng logam, kemudian dihubungkan ke circuit thermojunctions yang mengubah besaran panas menjadi
perbedaan tegangan potensial yang dapat dianalogikan sebagai besaran intensitas
radiasi global (Tampubolon, 2012). Solarimeter
yang digunakan untuk mengukur radiasi matahari sangat bermanfaat pada
bidang pertanian. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh
intensitas, kualitas dan lama penyinaran matahari (Suciatiningsih, 2013).
2.2. Pengukur
Lama Penyinaran Matahari
2.2.1. Campbell
Stokes
Campbell Stokes adalah salah satu alat yang untuk mendapatkan data tentang iklim dan cuaca
pada stasiun-stasiun klimatologi yang berfungsi untuk mengukur lama penyinaran
matahari. Campbell Stokes merupakan alat ukur analog durasi harian penyinaran
matahari yang menggunakan satuan jam/prosentase (%) pias harian (Kamus, 2013). Campbell Stokes terdapat
komponen penyusunnya. Campbell Stokes terdiri dari 2 komponen penyusun utama yaitu
bola kaca berfungsi sebagai lensa cembung yang mempunyai titik fokus dan kertas
pias yang mempunyai tiga macam jenis
yaitu lengkung panjang (11 Oktober – 28 Februari), lurus (11 September – 10
Oktober) (1 Maret – 10 April) dan lengkung pendek (11 April – 10 Agustus)
(Romanyaga, 2016). Cara kerja Campbell Stokes adalah sebagai berikut cahaya matahari akan dikumpulkan bola kaca pada
titik fokusnya yang terdapat lempengan baja dengan ukuran lebar kira-kira 10 cm
tempat kertas pias diletakkan, jika sinar matahari memiliki kekuatan lebih dari
120 W/m2 maka dapat membakar kertas pias sehingga meninggalkan jejak
terbakar pada kertas pias dapat berupa lubang panjang/pendek, terputus-putus
atau bintik terbakar yang menunjukkan lama waktu penyinaran matahari (Hamdi,
2014).
2.3. Pengukur
Suhu dan Kelembaban Udara
2.3.1. Psikrometer Standar
Psikrometer standar merupakan
suatu alat yang berfungsi sebagai pengukur suhu dan kelembaban udara
(Suhardiyanto et al., 2007).
Psikrometer standar tersusun dari empat thermometer yaitu thermometer bola
kering (BK) menunjukkan suhu udara, thermometer bola basah (BB) digunakan
mencari kelembaban udara dengan bantuan table, thermometer maksimum dan
thermometer minimum serta dilengkapi dengan piche evaporimeter. Piche
evaporimeter adalah alat ukur penguapan yang sangat peka terhadap laju angin,
endapan debu maupun pasir (Rizki, 2012). Cara
mengukur kelembaban udara dengan psikrometer standar adalah dengan melihat
waktu pembacaan thermometer bola kering kemudian thermometer bola basah yang
diletakkan berdampingan dengan tekanan yang sama sehingga dapat memberikan
nilai kelembaban udara (Hasibuan, 2005). Suhu yang ditunjukkan dari hasil
pembacaan bola kering lebih cepat berubah daripada thermometer bola basah.
Semua alat pengukur suhu dan kelembaban diletakkan di kotak yang terlindungi
dari cahaya matahari secara langsung atau radiasi bumi serta hujan (Hendayana,
2011).
2.3.2. Thermohigrograf
Thermohigrograf
merupakan alat pengukur suhu udara yang dapat merekam setiap perubahan suhu
udara (Butar, 2015). Thermohigrograph dipasang dalam sangkar meteorologi dan
berguna sebagai pengukur suhu udara secara kontinyu karena dapat merekam suhu
udara untuk waktu selama 24 jam, bahkan satu minggu (Rizki, 2012).
Thermohigrograf terdiri dari dua skala, skala bagian atas untuk mengukur kelembaban
udara dan skala bagian bawah untuk mengukur suhu udara (Sunarto, 2004). Cara
kerja thermohigrograf adalah dengan cara mengganti kertas grafik yang sudah
terpasang dengan kertas grafik yang baru lalu memeriksa kekuatan putar perjam,
tinta dan kebersihan pena dan rambut serta pengamatan kelembaban dan suhu
dilakukan tiap minggu (Budiyanto, 2016).
2.4. Pengukur Suhu dan Kelembaban Tanah
2.4.1. Thermometer Tanah Bervegetasi
Thermometer tanah bervegetasi mempunyai prinsip yang hampir sama dengan
termometer biasa yang berfungsi mengukur suhu dan kelembaban tanah (Lakitan, 2002). Thermometer
pengukur suhu tanah ada dua yaitu thermometer permukaan dan thermometer bawah
permukaan. Pengukuran suhu tanah diatas 20 cm menggunakan termometer tanah
bengkok, pengukuran suhu tanah dibawah
20 cm menggunakan termometer tanah berselubung. Cara mengukur suhu tanah dengan
thermometer adalah dengan membuat lubang tanah mencapai kedalaman yang akan
diukur, setelah itu thermometer dimasukkan kedalam lubang dan ditimbun dengan
tanah, beberapa menit kemudian diambil dan dibaca suhunya (Budiyanto, 2016).
Kedalaman tanah yang biasa diukur
suhunya yaitu kedalaman 0 cm, 5 cm, 10 cm, 20 cm, 50 cm dan 100 cm dari
permukaan tanah (Tjasyono, 2006). Suhu dan kelembaban
sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan aktivitas organisme (Umar, 2006).
2.4.2. Thermometer
Tanah Gundul
Thermometer
tanah gundul mempunyai prinsip yang sama dengan termometer tanah bervegetasi
yang berfungsi sebagai pengukur suhu dan kelembaban tanah (Lakitan, 2002).
Thermometer tanah gundul dapat mengetahui suhu tanah yang tidak bervegetasi
(Sriworo, 2006). Pengukuran suhu tanah dengan menggunakan thermometer dilakukan
pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah (Irawan, 2011). Cara kerja thermometer tanah gundul hampir
sama dengan cara kerja thermometer tanah bervegetasi yaitu apabila suhu naik
maka air raksa dalam resevoir akan naik dan menunjukkan skala pada pipa (Sutanto, 2005).
2.5. Pengukur
Tekanan Udara
2.5.1. Barometer
Barometer
merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tekanan udara, umumnya digunakan
pada peramalan cuaca, dan cara menggunakan barometer adalah dengan diletakan di
suatu tempat atau digunakan di
lapangan yang selanjutnya menunjukan besarnya tekanan udara (Sriworo, 2006).
Barometer yang banyak digunakan untuk mengukur tekanan udara, yaitu menggunakan
kolom air raksa. Tinggi kolom air raksa
dapat menujukkan besarnya tekanan udara
(Wirjohamidjojo, 2009). Tekanan udara adalah tekanan yang diberikan oleh udara,
karena gerakannya tiap 1cm2
bidang mendatar dari permukaan bumi sampai batas atmosfer, satuannya 1atm
(Tjasyono, 2004).
2.5.2. Barograf
Barometer
aneroid yang dilengkapi dengan tangkai pena penunjuk dan pias yang dilekatkan
pada sebuah tabung jam yang berputar (Guslim, 2009). Pada pias terdapat garis-garis tegak
menunjukkan waktu dan garis mendatar menunjukkan tekanan udara. Tingkat
keakuratan dari barograf, salah satunya ditentukan oleh jumlah kapsul atau sel
aneroid yang digunakan. Semakin banyak kapsul aneroid yang bisa digunakan maka semakin
peka barograpf tersebut terhadap perubahan tekanan udara (Wirjohamidjojo,
2009).
2.6. Pengukur
Arah dan kecepatan Angin
2.6.1 Anemometer
Anemometer
merupakan alat pencatat arah dan kecepatan angin. Kecepatan angin dapat
dinyatakan dalam satuan m/s dengan sebuah alat yang disebut anemometer (Muin,
2012). Anemometer dapat mendeteksi kedatangan badai dan topan, sehingga dapat
meminimalisir dampak yang mungkin ditimbulkan. Anemometer ditempatkan pada
sebuah penyangga di atas permukaan tanah dengan tujuan agar kerja Anemometer
lebih optimal. Kecepatan
angin diukur dengan anemometer cup dengan tiga atau empat logam berlubang
kecil, sehingga angin tertangkap dan cup berputar (Zailini, 2006). Cup pada Anemometer
berperan sebagai penangkap rangsangan berupa angin. Cup yang terkena angin akan
menggerakkan alat yang berfungsi sebagai pengukur kecepatan angin. Cup
anemometer bergerak
searah dan menimbulkan sebuah arus yang disebut dengan arus analog (Muin,
2012). Arah angin yang diukur dihitung dari arah angin mulai berhembus.
2.6.2 Wind Force
Wind
Force adalah sebuat alat yang digunakan untuk
mencatat arah dan kecepatan angin sesaat. Wind
Force merupakan pengukur kecepatan rata-rata angin berbentuk spidometer
dalam satuan km/jam (Sutikjono, 2005).
Kecepatan angin diperkirakan berdasarkan gerakan plat yang terdapat pada
Wind Force. Alat ini berada pada
ketinggian 2-15 meter (Banodin, 2011). Wind
Force merupakan
jenis anemometer tersederhana daripada jenis yang lain.
2.7. Pengukur Curah Hujan
2.7.1. Ombrometer Observatorium
Ombrometer Observatorium atau
penakar hujan adalah instrumen yang berbentuk silindris yang digunakan untuk mendapatkan dan mengukur curah hujan
pada satuan waktu tertentu dan prinsip kerjanya yaitu mengukur tinggi hujan
seolah-olah air hujan yang jatuh ke tanah menumpuk ke atas merupakan kolom air
dan air yang tertampung, volumenya dibagi dengan luas corong penampung kemudian
menghasilkan tinggi atau tebal dengan satuan milimeter (Manullang et al.,
2013). Alat penakar hujan yang biasa dipakai di Indonesia adalah tipe Observatorium
atau Ombrometer yang biasanya diletakkan ditempat terbuka dan tidak dipengaruhi
pohon-pohon dan gedung-gedung disekitarnya (Petonengean et al., 2016).
2.7.2. Ombrometer tipe Hellmann
Penakar hujan Hellman merupakan alat klimatologi
yang digunakan untuk mengukur curah hujan. Alat pengukur curah hujan tipe
Hellman digunakan untuk mengukur curah hujan dengan sistem air hujan tersebut
ditampung yang kemudian air akan mendorong pelampung yang terhubung langsung
dengan pena, secara otomatis pena yang terdapat didalam akan menggores kertas
pias yang sudah di pasang pada tabung berputar (Nugroho, 2012). Penakar hujan
otomatis tipe Hellman merupakan alat penakar hujan berjenis recording yang terdiri dari dari jam
pencatat, tabung gelas, pelampung dan alat ukur curah hujan tipe Hellman
sewaktu-waktu dapat mengalami gangguan sehingga mengakibatkan hilangnya data
curah hujan (Bunganaen et al., 2013).
2.7.3. Automatic Rain Sampler
Automatic Rain Sampler
adalah alat yang digunakan untuk pengambilan sampel air hujan dengan
menggunakan metode wet and dry dopsition dengan bantuan Acid Precipitation
Sampler (APS) atau lebih dikenal dengan Automatic Rain Sampler
(ARS). Sampel air hujan dapat diperoleh dengan menggunakan metode wet
deposition dan dry deposition, wet deposition secara sinergi juga mengukur pH
pada air hujan (Nugroho, 2012). Automatic Rain Sampler merupakan sebuah
alat yang digunakan untuk menentukan curah hujan dan nilai pH air hujan yang
didalamnya terdapat fitting, wiring, board, computer, lid release, opyical
sensors, collection funnel, pulnger coil, measuring valve, distribution valve,
filter/vent, sample bottle, battery tube (Brujinzeel et al., 2010)
2.7.4. Automatic Rain Gauge
Automatic
Rain Gauge merupakan alat digunakan untuk menghitung jumlah curah hujan
dalam satuan waktu tertentu secara otomatis. Automatic Rain Gauge atau
penakar curah hujan otomatis mengindra curah hujan menggunakan sensor dengan
data curah hujan tersimpan (Laserio et al., 2014). Automatic Rain
Gauge yaitu menggunakan cahaya infra merah atau menggunakan Lasser
Emitting Diode (LED) yang prinsip kerjanya, ketika hujan turun cahaya yang
mengenai butiran hujan akan menghasilkan variasi intensitas cahaya kemudian
akan ditangkap oleh detektor yang bergantung pada ukuran butiran hujan,
kecepatan jatuh dan geometri optiknya (Vitri dan Marzuki, 2014). Automatic
Rain Gauge (ARG) terdiri beberapa bagian yaitu berupa sensor, pencatu daya,
sistem komunikasi dan sistem akuisisi data dan alat ini sering ditempatkan di
lapangan untuk dijadikan sampel penelitian kemudian dilakukan pengecekan
berkala untuk mengecek baterei sebagai sumber tenaganya (Chairani dan Dewi,
2013).
2.8. Pengukur
Tingkat Penguapan Air
2.8.1. Open Pan Evaporimeter
Open Pan
Evaporimeter adalah alat
sederhana untuk mengukur tingkat penguapan yaitu dengan menggunakan wadah air
terbuka disebut pan evaporation untuk menghitung potensi evapotranspirasi
dengan akurat (Rayner, 2006). Alat ini berupa
sebuah panci bundar besar terbuat dari besi yang dilapisi bahan anti karat
dengan garis tengah/diameter 122 cm dan tinggi 25.4 cm dan dipasang di atas
permukaan tanah berumput pendek (Hariany et
al., 2011).
Open Pan Evaporimeter
dilengkapi dengan thermometer air Six Bellani, Still Wells, dan Hook Gauge, thermometer apung yang berfungsi untuk mengukur suhu air serta Cup Counter Anemometer berfungsi untuk mengukur kecepatan angin
(Tukidi, 2007). Beberapa percobaan yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa evaporasi yang terjadi dari panci evaporasi lebih cepat dibanding dari
permukaan air yang luas (Triatmodjo, 2008). Pengukuran
Open Pan Evaporimeter dilakukan
dengan memeperhatikan keseimbangan permukaan air terhadap ujung paku pada
sebuah tabung perendam riak (Arifin et
al., 2010).
Open Pan Evaporimeter dapat memperhitungkan perencanaan kebutuhan dan pemanfaatan air disuatu
wilayah terkait kekeringan dan kebutuhan air tanaman untuk pengaturan air dan
irigasi pertanian (Wati, 2015). Alat ini menjadi indikator iklim dalam
penentuan curah hujan, sehingga dengan mudah dapat ditentukan tanaman yang
cocok ditanam oleh petani (Savenije, 2004).
2.9. Pengukuran Tingkat Kualitas
2.9.1. High
Volume Sampler
High Volume Sampler
adalah alat yang digunakan untuk mengukur kualitas udara di suatu wilayah yang
memiliki kemampuan untuk menghisap debu dengan ukuran 2,5 micron dan 10 micron
yang ditampung pada kertas filter dengan motor putaran berkecepatan tinggi.
Alat ini pada umumnya berada di stasiun pemantau BMKG. High Volume Sampler memiliki bagian – bagian dengan fungsinya
masing – masing filter fiberglass untuk menampung motor pompa vakum berfungsi
untuk menghisap debu yang mengapung di udara
(Ratnani, 2008). High Volume Sampler digunakan untuk
mengukur konsentrasi debu (SPM), konsentrasi SO2, NO2, dan
ozon permukaan yang
bertujuan untuk mengukur kualitas udara di suatu wilayah pada periode
tertentu (Atmaja dan Ardyanto, 2007).

MATERI
DAN METODE
Praktikum
Klimatologi dengan acara Pengenalan Alat-Alat BMKG dilaksanakan pada hari Rabu
tanggal 13 September 2017 pada pukul 07.30 – 13.00 WIB di Kantor Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jl. Siliwangi No.291,
Kalibanteng Kulon, Semarang, Jawa Tengah.
3.1.
Materi
Materi
yang digunakan dalam praktikum acara ini terdiri dari komponen alat dan bahan.
Alat yang digunakan dalam praktikum pengenalan alat-alat klimatologi yaitu alat
tulis berfungsi sebagai alat dan media untuk mencatat hasil pengamatan dan
kamera berfungsi sebagai penyimpan gambar dari objek yang diamati. Unsur –
unsur yang diamati dalam praktikum klimatologi yaitu alat ukur radiasi matahari
meliputi Gunn Bellani, Actinograph
Bimetal, Solarimeter, alat ukur lama penyinaran matahari meliputi Campbell Stokes, Psikrometer Standar,
Thermohigrograph, alat ukur suhu dan kelembaban tanah meliputi Thermometer
Tanah Bervegetasi, Thermometer Tanah Gundul, alat ukur tekanan udara meliputi
Barometer dan Barograph, alat ukur arah dan kecepatan angin meliputi Anemometer
dan Wind Force, alat ukur curah hujan
meliputi Ombrometer Observatorium, Ombrometer Tipe Hellman, Automatic Rain Sampler, Automatic Rain Gauge,
alat ukur tingkat penguapan air berupa Open
Pan Evaporimeter dan
alat ukur tingkat kualitas udara berupa High
Volume Sampler.
3.2.
Metode
Metode
yang dilakukan pada praktikum
pengenalan alat – alat klimatologi adalah alat – alat klimatologi diamati dan dicatat
hal – hal penting menyangkut kegunaan alat seperti Gunn-Bellani, Actinograph Bimetal, Solarimeter, Campbell Stokes, Psikometer Standar,
Thermohogograph, Thermometer Tanah Bervegetasi, Thermometer Tanah Gundul,
Barometer, Barograph, Anemometer, Wind
Force, Ombrometer Observatorium, Ombrometer tipe Hellmann, Automatic Rain Sampler, Automatic Rain Gaug,
Open Pan Evaporimeter dan High Volume Sampler,
selain itu alat-alat tersebut didokumentasikan dalam bentuk gambar menggunakan
kamera.

HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengukur Radiasi Matahari
4.1.1. Gunn-Bellani
Berdasarkan hasil pengamatan yang
telah di laksanakan diperoleh hasil sebagai berikut:

![]() |
|||
|
Ilustrasi
1. Gunn-Bellani
Gunn-Bellani
merupakan alat klimatologi yang berbentuk
bola berwarna hitam yang dilindungi oleh bola kaca yang berisi air dan
dihubungkan oleh tabung buret. Hal ini sesuai dengan pendapat Suciatiningsih (2013) yang menyatakan bahwa Gunn-Bellani
mempunyai bagian sensor yang berwarna hitam pekat dan
berbentuk bulat yang dihubungkan tabung buter dengan skala mililiter (cc). Fungsi dari Gunn-Bellani
yaitu untuk mencatat intensitas radiasi cahaya matahari sejak
matahari terbit hingga terbenam dengan satuan calori/cm2 (Langlay). Hal ini
sesuai dengan pendapat Hernawati (2014) yang menyatakan bahwa Gunn-Bellani adalah instrumental yang mempunyai fungsi untuk mengukur
intensitas cahaya matahari dengan satuan Calori/cm2/menit. Cara kerja Gunn-Bellani
adalah ketika memasang alat pada saat pagi hari,
alat dibalik hingga semua cairan yang tertampung di bola
hitam dan cairan dalam tabung buter mendekati nol, kemudian alat dipasang di
tempat semula, panas yang ditimbulkan oleh cahaya matahari akan menguapkan zat
cair yang ada dalam bola hitam. Hal ini sesuai dengan pendapat Tampubolon
(2011) yang menyatakan bahwa radiasi matahari yang diterima oleh bola hitam
pada Gunn-Bellani akan menyebabkan bola hitam tersebut menjadi panas
sehingga cairan pada bola hitam menguap kemudian mengkondensasi dibagian bawah
tabung buret.
4.1.2. Actinograph Bimetal


|
Ilustrasi 2.
Actinograph Bimetal
Actinograph
Bimetal adalah alat yang mencatat intensitas
radiasi matahari secara otomatis dengan menggunakan satuan K Cal/cm2 (Langley). Hal
ini sesuai dengan pendapat Makhdum et al.
(2001) yang menyatakan bahwa Actinograph Bimetal
merupakan sebuah alat klimatologi yang berfungsi untuk
mengukur intensitas total radiasi matahari. Actinograph
Bimetal terdiri dari dua strip bimetal
hitam yang berfungsi menyerap radiasi cahaya matahari dan dua strip bimetal
putih yang berfungsi mencerminkan radiasi cahaya matahari. Hal ini sesuai
dengan pendapat Handoko (2003) yang menyatakan bahwa Actinograph
Bimetal terdiri
dari dua strip bimetal hitam dan bimetal putih, bimetal hitam akan melengkung
jika suhu mengalami kenaikan, gerakan tersebut akan terekam pada kertas rekam. Cara kerja dari Actinograph
Bimetal adalah apabila suhu naik
akibat radiasi matahari maka strip hitam akan melengkung. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nawawi (2001) Actinograph Bimetal mencatat perbedaan temperatur pada keping bimetal hitam yang terkena
langsung sinar matahari dan keping bimetal putih yang tidak terkena sinar
matahari secara langsung untuk mengukur radiasi matahari total harian.
4.1.3. Solarimeter
Berdasarkan hasil pengamatan yang
telah di laksanakan diperoleh hasil sebagai berikut:

![]() |
Ilustrasi 3.
Solarimeter
Solarimeter
adalah alat untuk mengukur intensitas matahari yang diukur
meliputi radiasi global atau radiasi langsung dan radiasi baur. Hal ini sesuai
dengan pendapat Apriani (2012) yang menyatakan bahwa solarimeter merupakan alat
yang digunakan untuk mengukur radiasi total yang terdiri dari radiasi langsung
dan radiasi difusi yang memiliki sensor thermophile.
Cara kerja dari solarimeter adalah jumlah energi radiasi matahari dapat diukur
dengan beda suhu yang terjadi antara permukaan yang berwarna hitam dan
permukaan yang berwarna putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Tampubolon (2011)
yang menyatakan bahwa sinar
matahari atau radiasi akan menembus glass
dome dengan radiasi yang mempunyai panjang gelombang 3 µm diteruskan ke
lempeng logam hitam yang akan mengabsorbsi panas radiasi selain itu juga
diteruskan ke logam putih yang akan memantulkan radiasi sehingga terjadi
perbedaan temperatur pada kedua lempeng logam, kemudian dihubungkan ke circuit thermojunctions yang mengubah
besaran panas menjadi perbedaan tegangan potensial yang dapat dianalogikan
sebagai besaran intensitas radiasi global. Solarimeter yang
mempunyai fungsi untuk mengukur intensitas radiasi cahaya matahari sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman pada proses fotosintesis tanaman. Hal
ini sesuai dengan pendapat Suciatiningsih (2013) yang menyatakan bahwa
intensitas, kualitas dan lama penyinaran matahari sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
4.2. Pengukur
Lama Penyinaran Matahari
4.2.1. Campbell Stokes


|
Ilustrasi 4.
Campbell Stokes
Campbell
Stokes adalah alat yang digunakan untuk mengukur lama penyinaran matahari yang
menggunakan satuan jam/presentase (%) pias harian. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kamus dan Pratama (2013) yang menyatakan bahwa Campbell
Stokes merupakan alat ukur analog
durasi harian penyinaran matahari yang biasa digunakan BMKG. Campbell
Stokes terdiri dari bola kaca, plat
logam berbentuk cekung, skrup penahan bola kaca dan kertas pias yang mempunyai
tiga macam jenis yaitu lengkung panjang (11 Oktober – 28 Februari), lurus (11
September – 10 Oktober) (1 Maret – 10 April) dan lengkung pendek (11 April – 10
Agustus). Hal ini sesuai dengan pendapat Ramonyaga (2016) yang menyatakan bahwa
Campbell Stokes memiliki 2 komponen utama yaitu bola kaca berdiameter 10 cm yang
mempunyai fungsi sebagai lensa
cembung dan kertas pias yang terdiri dari 3 bentuk yaitu lengkung pendek, lurus dan lengkung panjang.
Cara kerja Campbell Stokes adalah bola kaca mengumpulkan sinar matahari pada titik fokusnya dan
dibawah bola kaca terdapat sebuah lempengan baja yang mempunyai lebar 10 cm,
jika matahari bersinar terang maka akan dapat membakar pias yang menunjukkan
intensitas dan berapa lama matahari bersinar mulai terbit hingga terbenam. Hal
ini sesuai dengan pendapat Hamdi (2014) yang menyatakan bahwa cara kerja Campbell
Stokes
yaitu cahaya matahari akan dikumpulkan bola kaca pada titik fokusnya yang
terdapat lempengan baja dengan ukuran lebar kira-kira 10 cm tempat kertas pias
diletakkan, jika sinar matahari memiliki kekuatan lebih dari 120 W/m2
maka dapat membakar kertas pias sehingga meninggalkan jejak terbakar pada
kertas pias dapat berupa lubang panjang/pendek, terputus-putus atau bintik
terbakar yang menunjukkan lama waktu penyinaran matahari.
4.3. Pengukur
Suhu dan Kelembaban Udara
4.3.1. Psikrometer Standar
Berdasarkan hasil pengamatan yang
telah di laksanakan diperoleh hasil sebagai berikut:

![]() |
|||
|
Ilustrasi 5. Psikrometer Standar
Berdasarkan pengamatan lapangan diperoleh hasil bahwa
alat ini bernama psikrometer standar yang berfungsi mengukur suhu dan kelembaban
udara. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardiyanto
et al. (2007) yang menyatakan bahwa
Psikrometer Standar merupakan suatu alat yang berfungsi sebagai pengukur suhu
dan kelembaban udara. Ada empat thermometer penyusun psikrometer standar yaitu
thermometer bola kering (BK) menunjukkan suhu udara, thermometer bola basah
(BB) digunakan mencari kelembaban udara dengan bantuan table, thermometer
maksimum dan thermometer minimum serta dilengkapi dengan piche evaporimeter
yang dapat mendeteksi laju angin, pasir dan debu. Hal ini sesuai dengan
pendapat Rizki (2012) yang menyatakan bahwa Piche Evaporimeter adalah alat ukur
penguapan yang sangat peka terhadap laju angin, endapan debu maupun pasir. Cara
mengukur kelembaban udara dengan alat psikrometer standar adalah dengan melihat
waktu pembacaan thermometer bola kering kemudian membaca thermometer bola
basah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasibuan (2005) yang menyatakan bahwa
cara mengukur kelembaban udara dengan Psikrometer Standar adalah dengan melihat
waktu pembacaan thermometer bola kering kemudian thermometer bola basah yang
diletakkan berdampingan dengan tekanan yang sama sehingga dapat memberikan
nilai kelembaban udara. Suhu yang ditunjukkan dari hasil pembacaan bola kering
lebih cepat berubah daripada thermometer bola basah. Psikrometer Standar
diletakkan pada tempat yang tidak terkena radiasi surya dan bumi secara
langsung. Hal ini sesuai dengan pendapat Hendayana (2011) yang menyatakan bahwa
semua alat pengukur suhu dan kelembaban diletakkan di tempat atau kotak yang
terlindungi dari cahaya matahari secara langsung atau radiasi bumi serta hujan.
4.3.2. Thermohigrograf


|
Ilustrasi 6.
Thermohigrograf
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan
diperoleh hasil bahwa alat ini bernama Thermohigrograf yang mempunyai fungsi
untuk mengukur suhu udara pada setiap perubahan suhu. Hal ini sesuai dengan
pendapat Butar (2015) yang menyatakan
bahwa thermohigrograf merupakan alat pengukur suhu udara yang dapat merekam
setiap perubahan suhu udara. Thermohigrograf diletakkan pada tempat yang
terlindung dari sinar matahari secara langsung. Hal ini sesuai dengan pendapat Rizki (2012) yang
menyatakan bahwa Thermohigrograph dipasang dalam sangkar meteorologi dan
berguna sebagai pengukur suhu udara secara kontinyu karena dapat merekam suhu
udara untuk waktu selama 24 jam, bahkan satu minggu. Skala pada Thermohigrograf
yaitu skala bagian atas yang berfungsi mengukur kelembaban udara dan skala
bagian bawah untuk mengukur suhu udara. Hal ini sesuai dengan pendapat Sunarto
(2004) yang menyatakan bahwa Thermohigrograf terdiri dari dua skala, skala
bagian atas untuk mengukur kelembaban udara dan skala bagian bawah untuk
mengukur suhu udara. Setiap satu minggu harus mengganti kertas grafik agar
kertas grafik tetap dalam keaadaan bersih sehinggaa dapat bekerja dengan baik.
Hal ini sesuai dengan pendapat Budiyanto (2016) yang menyatakan bahwa cara
kerja Thermohigrograf adalah dengan cara mengganti kertas grafik yang sudah
terpasang selama satu minggu dengan kertas grafik yang baru lalu memeriksa
kekuatan putar perjam, tinta dan kebersihan pena dan rambut serta pengamatan kelembaban
dan suhu dilakukan tiap minggu. Thermohigrograf digunakan untuk mengukur suhu udara
secara terus menerus. Suhu udara berpengaruh terhadap terbentuknya cuaca dan
iklim sehingga dapat digunakan untuk memperkirakan pola tanam tanaman. Hal ini
sesuai dengan pendapat Gunawan (2009) yang menyatakan bahwa dengan adanya
perkiraan iklim dapat digunakan untuk memperkirakan pola tanam tanaman pada
periode tertentu.
4.4. Pengukur
Suhu dan Kelembaban Tanah
4.4.1. Thermometer
Tanah Bervegetasi


|
Ilustrasi 7. Thermometer Tanah Bervegetasi
Berdasarkan hasil pengamataan lapangan
diperoleh hasil bahwa alat ini bernama thermometer tanah bervegetasi yang
berfungsi sebagai alat pengukur suhu dan kelembaban udara. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lakitan (2002) yang menyatakan bahwa Thermometer Tanah Bervegetasi mempunyai
prinsip yang hampir sama dengan termometer biasa yang berfungsi mengukur suhu
dan kelembaban tanah. Thermometer pengukur suhu tanah ada dua yaitu thermometer
permukaan dan thermometer bawah permukaan. Pengukuran suhu tanah diatas 20 cm
menggunakan termometer tanah bengkok,
pengukuran suhu tanah dibawah 20 cm menggunakan termometer tanah
berselubung. Bagian dari thermometer permukaan tanah yaitu thermometer cair,
reservoir, dan tabung pelindung reservoir. Hal ini sesuai dengan pendapat Cahya
(2009) yang menyatakan bahwa thermometer tanah permukaan mempunyai bagian
seperti thermometer zat cair, reservoir, satif kaki tiga dan tabung pelindung
reservoir ventilasi. Sedangkan thermometer tanah berselubung mempunyai bagian
seperti thermometer zat cair, pegangan tangan dan selubung pelindung
thermometer. Hal ini sesuai dengan pendapat Kartasaputra (2004) yang menyatakan
bahwa bagian dari thermometer terselubung yaitu ujung sensor, pegangan tangan,
thermometer cair dan selubung kayu pelindung thermometer. Cara mengukur suhu
tanah dengan menggunakan thermometer yaitu dengan cara melubangi tanah dengan
kedalaman tertentu lalu memasukkan thermometer ke dalam lubang beberapa menit
sehingga dapat melihat suhu yang terukur. Hal ini sesuai dengan pendapat
Budiyanto (2016) yang menyatakan bahwa cara mengukur suhu tanah dengan
thermometer adalah dengan membuat lubang tanah mencapai kedalaman yang akan
diukur, setelah itu thermometer dimasukkan kedalam lubang dan ditimbun dengan
tanah, beberapa menit kemudian diambil dan dibaca suhunya. Suhu tanah
yang biasa diamati yaitu pada
kedalaman 5
cm, 10 cm, 20 cm, 50 cm dan 100 cm dari permukaan tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjasyono (2006)
yang menyatakan bahwa kedalaman tanah yang biasa
diukur suhunya yaitu kedalaman 0 cm, 5 cm, 10 cm, 20 cm, 50 cm dan 100
cm dari permukaan tanah. Pertumbuhan
tanaman sangat dipengaruhi oleh lingkungan salah satunya yaitu suhu dan kelembaban.
Hal ini sesuai dengan pendapat Umar (2006) yang menyatakan suhu dan kelembaban sangat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan aktivitas organisme.
4.4.2. Thermometer
Tanah Gundul
Berdasarkan hasil pengamatan yang
telah di laksanakan diperoleh hasil sebagai berikut:
|

![]() |
Ilustrasi 8. Thermometer tanah gundul
Ilustrasi 7. Thermometer Tanah Gundul
Berdasarkan
hasil pengamatan lapangan diperoleh hasil bahwa alat ini bernama thermometer
Tanah Gundul yang berfungsi untuk mengukur suhu dan kelembaban udara. Hal ini
sesuai dengan pendapat Lakitan (2002) yang menyatakan bahwa Thermometer Tanah Gundul
mempunyai prinsip yang sama dengan termometer tanah bervegetasi yang mempunyai fungsi
sebagai pengukur suhu dan kelembaban tanah. Thermometer Tanah Gundul yang
biasanya digunakan untuk mengukur suhu pada tanah yang tidak bervegetasi. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sriwono (2006) yang menyatakan bahwa Thermometer
Tanah Gundul dapat mengetahui suhu tanah yang tidak bervegetasi. Pengukuran
suhu pada tanah yang tidak bervegetasi dilakukan pada kedalaman 10 cm. Hal ini
sesuai dengan pendapat Irawan (2011) yang menyatakan bahwa pengukuran suhu
tanah dengan menggunakan thermometer yang dilakukan pada kedalaman 10 cm dari
atas permukaan tanah. Bagian-bagian
dari thermometer permukaan tanah diantaranya thermometer cair, reservoir, dan
tabung pelindung reservoir. Hal ini sesuai dengan pendapat Cahya (2009) yang
menyatakan bahwa thermometer tanah permukaan mempunyai bagian seperti
thermometer zat cair, reservoir, satif kaki tiga dan tabung pelindung reservoir
ventilasi. Sedangkan thermometer tanah berselubung mempunyai bagian seperti
thermometer zat cair, pegangan tangan dan selubung pelindung thermometer. Hal
ini sesuai dengan pendapat Kartasaputra (2004) yang menyatakan bahwa bagian
dari thermometer terselubung yaitu ujung sensor, pegangan tangan, thermometer
cair dan selubung kayu pelindung thermometer. Cara kerja thermometer
tanah gundul yaitu apabila suhu tanah naik maka air raksa pada reservoir akan
naik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutantu (2005) yang menyatakan bahwa cara kerja thermometer tanah gundul hampir
sama dengan cara kerja thermometer tanah bervegetasi yaitu apabila suhu naik
maka air raksa dalam resevoir akan naik dan menunjukkan skala pada pipa.
4.5. Pengukur Tekanan Udara
4.5.1. Barometer

![]() |
||||
|
Ilustrasi 9. Barometer
Berdasarkan
praktikum Klimatologi pada materi Identifikasi Alat-Alat Stasiun Klimatologi,
Barometer merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur tekanan suatu udara di
ruangan terbuka (atmosfer). Hal ini sesuai dengan pendapat Sriworo (2006) yang menyatakan bahwa
barometer merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur tekanan udara, umumnya
digunakan pada peramalan cuaca, dan cara menggunakan Barometer adalah dengan
diletakan di suatu tempat atau alat yang digunakan di lapangan yang selanjutnya
menunjukan besarnya tekanan udar serta alat ini tidak boleh terkena sinar
matahari dan angin, alat ini langsung dipasang tegak lurus pada dinding yang
kuat. Barometer yang banyak digunakan untuk mengukur tekanan udara, yaitu
menggunakan kolom air raksa. Hal ini sesuai dengan pendapat Wirjohamidjojo
(2009) yang menyatakan bahwa Barometer yang banyak digunakan, yaitu menggunakan
kolom air raksa dan tinggi kolom air raksa menunjukan besarnya tekanan udara.
4.5.2. Barograf
Berdasarkan hasil pengamatan yang
telah di laksanakan diperoleh hasil sebagai berikut :
![]() |
||||
|
Ilustrasi
10. Barograf
Berdasarkan praktikum Klimatologi
pada materi Identifikasi Alat-Alat Stasiun Klimatologi, Barograf adalah alat
yang berfungsi untuk mengukur tekanan udara yang dapat mencatat sendiri dan
prinsip kerjanya tidak jauh beda dengan Barometer. Hal ini sesuai dengan
pendapat Guslim (2009) yang menyatakan bahwa prinsip kerjanya sama dengan
Barometer Aneroid yang dilengkapi dengan tangkai pena penunjuk dan pias yang
dilekatkan pada sebuah tabung jam yang berputar dan berfungsi untuk mencatat
sendri tekanan udara yang telah diukur. Skala pias Barograf, pada umumnya
adalah antara tekanan udara 970 sampai dengan 1050 mb. Hal ini sesuai dengan
pendapat Wirjohamidjojo (2009) yang menyatakan bahwa pada pias terdapat
garis-garis tegak menunjukkan waktu dan garis mendatar menunjukkan tekanan udara.
Tingkat keakuratan dari Barograf, salah satunya ditentukan oleh jumlah kapsul
atau sel aneroid yang digunakan. Semakin banyak kapsul aneroid yang digunakan
maka semakin peka Barograf tersebut terhadap perubahan tekanan udara.
4.6. Pengukur Arah dan Kecepatan Angin
4.6.1. Anemometer
Berdasarkan
hasil pengamatan yang telah di laksanakan diperoleh hasil sebagai berikut :
![]() |
||||
|
Ilustrasi
11.Anemometer
Berdasarkan
praktikum Klimatologi pada materi Identifikasi Alat-Alat Stasiun Klimatologi,
Anemometer adalah alat yang berfungsi mengukur kecepatan angin. Hal ini sesuai
dengan pendapat Muin (2012) yang menyatakan bahwa Anemometer merupakan alat yang
berfungsi sebagai pencatat arah dan kecepatan angin yang keecepatan angin dapat
dinyatakan dalam satuan m/s. Cara kerja dari Anemometer yaitu dengan ketiga
atau empat cup logam berlubang kecil yang saling bersebrangan berputar sesuai
kecepatan angin yang datang, jika angin bertiup kencang maka cup akan berputar
makin cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Zailini (2006) yang menyatakan bahwa, cara kerja Anemometer
yaitu dengan mengukur kecepatan angin dengan Anemometer cup dengan tiga atau empat logam berlubang kecil, sehingga angin
tertangkap dan cup berputar, jika cup bertiup kencang, maka cup akan berputar
makin cepat.
4.6.2. Wind
Force
Berdasarkan
hasil pengamatan yang telah di laksanakan diperoleh hasil

![]() |
||||
|
Ilustrasi
12.Wind Force
Berdasarkan
praktikum Klimatologi pada materi Identifikasi Alat-Alat Stasiun Klimatologi, Wind Force merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur kecepatan
rata-rata angin. Hal ini sesuai pendapat Sutikjono (2005) yang menyatakan
bahwa, Wind Force merupakan alat yang
berfungsi sebagai pengukur kecepatan rata-rata angin yang berbentuk spidometer
dalam satuan km/jam. Wind Force
pada bidang pertanian sangat membantu dengan menentukan arah datangnya angin yang bermanfaat
bagi tanaman yaitu salah satunya dapat membantu dalam proses penyerbukan pada tanaman. Hal ini sesuai
dengan pendapat As’ari (2011) yang menyatakan bahwa energi angin yang arah datangnya
dapat diketahui dengan Wind force
merupakan perantara dalam penyebaran tepung sari pada penyerbukan alamiah,
tetapi angin juga dapat menyebarkan benih rumput liar dan melakukan penyerbukan
silang yang tidak diinginkan.
Wind Force berada pada tempat yang
tinggi gunanya untuk menangkap angin. Hal ini sesuai dengan pendapat Banodin
(2011) yang menyatakan bahwa, Wind Force
berada pada ketinggian 2-15 meter di atas permukaan tanah. Cara kerja wind
force dengan berputarnya tiga mangkok yang tertiup angin, yang semakin cepat
mangkok ditiup angin semakin cepat putarannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Pratiwi (2013) yang menyatakan bahwa tiga buah mangkok akan
berputar jika tertiup angin. Semakin besar kekuatan angin semakin cepat
putarannya serta ada poros putaran dipasang magnit pembangkit arus listrik
25 sehingga bila mangkok berputar timbul arus yang
besarnya sebanding dengan kecepatan putaran.
4.7. Pengukur Curah Hujan
4.7.1. Ombrometer Observatorium
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:
![]() |
||||
|
Ilustrasi 13. Ombrometer observatorium
Ilustrasi 13. Ombrometer
Observatorium
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan pada praktikum diketahui bahwa penakar hujan
observatorium merupakan salah satu jenis alat dari penakar hujan yang berbentuk
silindris dan digunakan untuk menghitung curah hujan secara manual setiap hari
dengan cara kerja, diatas penakar hujan Observatorium terdapat lubang dan
saringan agar hanya air hujan yang masuk kedalam penakar hujan Observatorium
yang kemudian dipindahkan kedalam gelas ukur untuk diukur curah hujan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Manullang et al.
(2013) yang menyatakan bahwa
Ombrometer Observatorium adalah instrumen yang berbentuk silindris yang
digunakan untuk mendapatkan dan mengukur curah hujan pada satuan waktu tertentu
dan prinsip kerjanya yaitu mengukur tinggi hujan seolah-olah air hujan yang
jatuh ke tanah menumpuk ke atas merupakan kolom air dan air yang tertampung
pada gelas ukur, volumenya dibagi dengan luas corong penampung kemudian
menghasilkan tinggi atau tebal dengan satuan milimeter. Alat yang biasa
digunakan di Indonesia untuk mengukur hujan yaitu Ombrometer dan ditempatkan
ditempat terbuka dan jauh dari gedung maupun pepohonan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Petonengean et al. (2016) yang menyatakan bahwa alat penakar
hujan yang biasa dipakai di Indonesia adalah tipe Observatorium atau Ombrometer
yang diletakkan ditempat terbuka dan tidak dipengaruhi pohon-pohon dan
gedung-gedung disekitarnya.
4.7.2. Ombrometer Tipe Hellmann
Berdasarkan
hasil pengamatan yang telah dilaksanakan diperoleh hasil sebagai berikut:
![]() |
||||
|
Ilustrasi 14. Ombrometer Tipe Hellman
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan pada praktikum didapat bahwa penakar hujan otomatis
Hellman dapat digunakan untuk mengukur curah air hujan yang ditampung akan
mendorong pelampung yang terhubung dengan pena, pena tersebut akan menggores
kertas pias yang dipasang pada tabung jam berputar. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nugroho (2012) yang menyatakan
alat pengukur curah hujan tipe Hellman digunakan untuk mengukur curah
hujan dengan prinsip kerja yaitu air
hujan ditampung yang kemudian air akan mendorong pelampung yang terhubung langsung
dengan pena, secara otomatis pena yang terdapat didalam akan menggores kertas
pias yang sudah di pasang pada tabung berputar. Bagian-bagian penakar hujan
tipe Hellman terdapat silinder jam tempat meletakan pias, tabung tempat
pelampung, tangki pelampung dan pelampung. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bunganaen et al. (2013) yang menyatakan bahwa penakar hujan otomatis tipe
Hellman merupakan alat penakar hujan berjenis recording yang terdiri
dari dari jam pencatat, tabung gelas,
pelampung dan alat ukur curah hujan tipe Hellman sewaktu-waktu dapat mengalami
gangguan sehingga mengakibatkan hilangnya data curah hujan.
4.7.3. Automatic Rain Sampler


|
Ilustrasi
15. Automatic Rain Sampler
Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan pada praktikum diketahui bahwa pengukuran curah hujan dan
pemantauan tingkat kemasaman air hujan sejak beberapa tahun terakhir BMKG sudah
menggunakan alat ARS. Namun pengukuran curah hujan masih banyak dilakukan
secara konvensional menggunakan penakar hujan Observatorium dan penakar hujan
Hellman yang bertujuan untuk membandingkan hasil yang diperoleh.
Pengambilan sampel air hujan dapat menggunakan cara kerja, metode wet and dry dopsition
dengan bantuan Acid Precipitation Sampler (APS) atau Automatic Rain
Sampler (ARS). Hal
ini sesuai dengan pendapat Nugroho (2012) yang menyatakan bahwa Automatic Rain Sampler
adalah alat yang digunakan untuk pengambilan sampel air hujan dengan
menggunakan cara kerja, metode wet and dry dopsition dengan bantuan Acid
Precipitation Sampler (APS) atau lebih dikenal dengan Automatic
Rain Sampler (ARS). Sampel air hujan dapat diperoleh dengan menggunakan
metode wet deposition dan dry deposition, wet deposition secara
sinergi juga mengukur pH pada air hujan. Automatic rain sampler
terdiri dari fittings, wiring, board, computer, lid release, optical sensors, collection funnel, pulnger
coil, measuring valve, distribution valve,filter/vent, sample bottle,
battery tube dan berfungsi untuk mengambil sampel
air hujan yang akan diukur konsentrasi kimia air hujannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Brujinzeel et al. (2010) yang
menyatakan bahwa Automatic Rain Sampler merupakan sebuah alat yang
digunakan untuk menentukan curah hujan dan nilai pH air hujan yang didalamnya
terdapat fitting, wiring, board, computer, lid release, opyical sensors,
collection funnel, pulnger coil, measuring valve, distribution valve,
filter/vent, sample bottle, battery tube.
4.7.4. Automatic Rain Gauge


|
Ilustrasi 16. Automatic
Rain Gauge
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada
praktikum diketahui bahwa BMKG Semarang menggunakan Automatic Rain Gauge yang berfungsi untuk mengukur
curah hujan secara otomatis dan juga masih menggunakan penakar hujan biasa
untuk membandingkan kedua data yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan pendapat
Laserio et al. (2014) yang menyatakan bahwa Automatic Rain Gauge
mengindra curah hujan menggunakan sensor dengan data curah hujan tersimpan.
Prinsip kerja Automatic Rain Gauge (ARG) yaitu menggunakan cahaya infra
merah dimana ketika hujan turun cahaya yang mengenai butiran hujan akan
menghasilkan variasi intensitas cahaya dan kemudian di tangkap oleh detektor.
Hal ini sesuai dengan pendapat Vitri dan Marzuki (2014) yang menyatakan bahwa Automatic
Rain Gauge yaitu menggunakan cahaya infra merah yang prinsip kerjanya,
ketika hujan turun cahaya yang mengenai butiran hujan akan menghasilkan variasi
intensitas cahaya kemudian akan ditangkap oleh detektor yang bergantung pada
ukuran butiran hujan, kecepatan jatuh dan geometri optiknya. Bagian-bagian Automatic
Rain Gauge terdiri dari sensor, pencatu daya, sistem komunikasi dan sistem
akuissi data biasa digunakan untuk sampel penelitian. Hal ini sesuai dengan
pendapat Chairani dan Dewi (2013) yang menyatakan bahwa Automatic Rain Gauge
(ARG) terdiri dari beberapa bagian yaitu berupa sensor, pencatu daya, sistem
komunikasi dan sistem akuisisi data dan alat ini sering ditempatkan di lapangan
untuk dijadikan sampel penelitian kemudian dilakukan pengecekan berkala untuk
mengecek baterai sebagai sumber tenaganya.
4.8 Pengukur
Tingkat Penguapan Air
4.8.1 Open Pan Evaporimeter

![]() |
Ilustrasi
17. Open Pan Evaporimeter
|
Ilustrasi 17. Open
Pan Evaporimeter
Open Pan
Evaporimeter berfungsi sebagai
pengukur penguapan air secara langsung dan menggunakan satuan millimeter. Hal
ini sesuai dengan pendapat Rayner (2006) yang menyatakan bahwa Open Pan Evaporimeter digunakan untuk
mengukur tingkat penguapan yaitu dengan menggunakan wadah air terbuka untuk
menghitung potensi evapotranspirasi dengan akurat. Prinsip kerja open pan
evaporimeter yaitu pengukuran dilaksanakan setiap satu bulan sekali dengan mengalikan
koefisien panci untuk memperkirakan banyaknya penguapan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Roderick (2009) yang menyatakan bahwa pengukuran evaporasi setiap
harinya dikumpulkan dalam waktu yang lebih lama, biasanya beberapa minggu atau
beberapa bulan dan hasilnya dikalikan dengan koefisien panci untuk
memperkirakan penguapan yang diminta. Open
Pan Evaporimeter dilengkapi dengan thermometer apung dan Cup Counter Anemometer setinggi 0,5 meter serta thermometer
air (Six Bellani, Still Wells, dan
Hook Gauge). Thermometer apung digunakan
untuk mengukur suhu air, sedangkan Cup
Counter Anemometer digunakan untuk mengukur kecepatan angin. Hal ini sesuai
dengan pendapat Tukidi (2007) yang menyatakan bahwa alat Open Pan Evaporimeter dilengkapi dengan thermometer apung dan Cup
Counter Anemometer dengan ketinggian 0,5 meter serta thermometer air (Six
Bellani, Still Wells, dan Hook
Gauge).
Pengujian evaporasi dapat
dilakukan dengan baik menggunakan alat panci evaporasi (open pan Evaporimeter) yang berbentuk bundar besar yang dipasang
diatas permukaan tanah berumput pendek. Hal ini juga didukung oleh pendapat
Hariany et al. (2011) yang menyatakan
bahwa pengujian evaporasi dengan menggunakan alat panci evaporasi yang berupa
sebuah panci bundar besar terbuat dari besi yang dilapisi bahan anti karat
dengan garis tengah/diameter 122 cm dan tinggi 25.4 cm dan dipasang di atas
permukaan tanah berumput pendek. Hal ini juga didukung oleh pendapat Triatmodjo (2008) yang menyatakan bahwa cara yang
paling banyak digunakan untuk mengetahui volume evaporasi dari permukaan air
bebas adalah dengan menggunakan panci evaporasi.
Open Pan
Evaporimeter mempunyai fungsi dalam
pertanian sebagai alat untuk memperhitungkan
kebutuhan air di suatu wilayah yang terkait
dengan kekeringan dan kebutuhan air tanaman
untuk pengaturan air dan irigasi pertanian dan menjadi indikator dalam penentuan pola tanam bagi
petani. Hal ini sesuai dengan pendapat Wati (2015) yang menyatakan bahwa Open Pan Evaporimeter dapat memperhitungkan perencanaan kebutuhan
dan pemanfaatan air di suatu wilayah terkait kekeringan dan kebutuhan air
tanaman untuk pengaturan air dan irigasi pertanian. Pendapat ini juga didukung
oleh Savenije (2004) bahwa panci evaporasi berfungsi sebagai pengatur air dan
irigasi dan menjadi indikator iklim dalam penetuan curah hujan, sehingga dengan
mudah dapat ditentukan tanaman yang cocok ditanam oleh petani.
4.9. Pengukur
Tingkat Kualitas Udara
4.9.1
High
Volume Sampler
Berdasakan hasil pengamatan yang
telah dilaksanakan diperoleh hasil sebagai berikut :

![]() |
|||
|
Ilustrasi 1.
High Volume Sampler
High Volume Sampler adalah alat yang
digunakan dalam pemantauan kualitas udara dengan mengamati Suspended Particle
Matter (SPM), ozon permukaan dan aerosol. Hal ini sesuai dengan pendapat Aminah
(2007) bahwa High Volume Sampler
berfungsi sebagai alat ukur adanya kadar unsur atau senyawa yang tidak
diinginkan yang berada di udara. Sampel pengamatan tersebut kemudian akan
diamati dan dihitung konsentrasinya dengan cara sampel akan dihisap dan mengalir
melalui kertas filter. Debu yang menempel pada kertas filter kemudian ditimbang
pada saat sebelum dan sesudah sampling, dicatat flowrate dan waktu lamanya
sampling agar mendapatkan konsentrasi sampel tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Puriwigati (2010) bahwa
partikel debu yang ada di udara akan dihisap oleh kertas filter berbahan fiber
glass. Kualitas udara memiliki peran di bidang
pertanian, dengan mengetahui kualitas udara melalui alat ini maka kualitas udara dapat segera
ditanggulangi sehingga lahan pertanian akan tetap terjaga kesuburan maupun
produktivitasnya dan dapat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas udara. Hal
ini sesuai dengan pendapat Natasaputra et
al. (2015) bahwa baik atau buruknya kondisi udara di suatu lingkungan dapat
menjadi indikator bagi kegiatan
pertanian, oleh karena itu High Volume
Sampler secara tidak langsung memiliki peran di bidang pertanian.

SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan di Stasiun Klimatologi Semarang dapat disimpulkan bahwa alat yang ada di stasiun BMKG terdiri dari alat
untuk mengukur radiasi matahari (Gunn-Bellani,
Actinograph Bimetal dan Solarimeter), pengukur lama penyinaran matahari (Campbell Stokes), pengukur suhu dan kelembaban
udara (Psikrometer Standar, Thermohigrograf),
pengukur suhu dan kelembaban tanah (Thermometer Tanah Bervegetasi, Thermometer
Tanah Gundul), pengukur tekanan udara (Barometer, Barograf), pengukur arah dan
kecepatan angin (anemometer, wind force),
pengukur curah hujan (ombrometer 0bservatorium, ombrometer tipe Hellmann, Automatic Rain Sampler, Automatic Rain Gauge), pengukur tingkat
penguapan air (Open Pan Evaporimeter),
pengukur tingkat kualitas udara (High
Volume Sampler).
5.2. Saran
Saran
yang dapat diberikan untuk menunjang hasil praktikum yang lebih baik adalah sebaiknya para praktikan lebih mendengarkan penjelasan
dari pemandu praktikum di stasiun BMKG.

Apriani, E. 2012. Transmisi
radiasi matahari di bawah kanopi hutan (studi kasus hutan Badan Litbang kementrian
kehutanan Dramaga Bogor). Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Atmaja, A. S.,
dan D. Ardyanto. 2007. Identifikasi kadar debu di lingkungan kerja dan kelurahan subyektif pernafasan
tenaga kerja bagian finish mill. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. 3(2) : 161-172.
Banodin, R. 2011. Alat
penunjuk arah angin dan pengukur kecepatan angin berbasis mikrokontroller
AT89C51. Jurnal repetisi UNDIP.
Semarang.
Bunganean, W., Denik S Krisnayanti dan Yacobas A. Klaw.
2013. Analisis hubungan tebal hujan dan durasi hujan pada stasiun klimatologi
Lasiana Kota Kupang. Jurnal teknik sipil.
2(2) : 181-190.
Bruijnzeel,
L.A., Scatena, L.S., Hamilton. 2010. Tropical
Montane Cloud Forests. Cambridge University Press, New York.
Chairani, S dan D. S. Jayanti. 2013. Rainfall
interception on the stands of pine tree (Casuarina
Cunninghumia). Jurnal Tekhnik Pertanian. 6(1) : 405-412.
Chambers, J dan Sutarman. T. A. 2012. Bumi dan tanah. Balai
Pustaka. Jakarta Timur.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius, Yogyakarta.
Guslim. 2009. Agroklimiatolog. USU Press. Medan.
Hamdi, S. 2014. Mengenal lama
penyinaran matahari sebagai salah satu parameter klimatologi. Jurnal Berita
Dirgantara. 15(1) : 7–16.
Hariany, S., B. Rosadi, dan N. Arifaini. 2011. Evaluasi Jaringan
Kerja Irigasi di Saluran Sekunder pada Berbagai Tingkat Pemberian Air di Pintu
Ukur. Jurnal Rekayasa. 15(3) :225-236.
Handoko.2003. Klimatologi Dasar
FMIPA-IPB, Bogor.
Hasibuan, R. 2005. Proses
pengeringan. Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.
Hernawati, E. 2014. Pengaruh penggunan warna jaring dan
lama penyinaran matahari terhadap kakuatan putus (breaking strength) jaring PA monofilamen. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Kamus, Z. dan Pratama, R.
2013. Aplikasi Light Dependent Resistor untuk pengembangan sistem
pengukuran durasi harian penyinaran matahari. Prosiding Semirata FMIPA
Universitas Lampung.
Laserio, S. D., Asrizal, dan Syafrijon. 2014. Analisis
data parameter hujan menggunakan fitur guide pada matlab berdasarkan hasil
pengukuran instrumen optical rain gauge di loka pengamatan atmosfer kototabang
lapan. Jurnal FMIPA. 1(1) : 89-96.
Makhdum, M. I., M. N. Malik, F. Ahmad, F. I. Chaudhry and
S. Ud-Din. 2001. Investigation on the physical parameters of environment and
their impact on cotton crop production in the Southern Punjab, Pakistan. Journal Of Research (Science). 12(2) : 147–154.
Manulang,V. Shopia dan Takdir Tamba. 2013. Modifikasi
penakar hujan otomatis tipe tipping bucket dengan half effect sensor ATS276. Jurnal FMIPA. 6(1) : 1-7.
Muin, S. 2012. Penuntun
Praktikum Agroklimatologi. Unib. Bengkulu. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Nawawi, G. 2001. Pengantar Klimatologi Pertanian. Tim Program
Keahlian Iklimatisasi Pertanian, Bandung.
Nugroho, W. 2012. Pengembangan sistem peralatan pengambil
sampel air hujan otomatis. Jurnal MIPA.
Universitas Indonesia.
Petonengan, A., J. S. F. Sumarauw, dan E. M Wuisan. 2016. Pola distribusi hujan
jam-jaman di das Tondano bagian hulu. Jurnal Sipil Statik. 4(1) : 21-28.
Romanyaga, H., N. Tjahjamooniarsih dan F. T. Pontia.
2016. Analisis performansi very small aperature terminal (VSAT) pengiriman data
cuaca penerbangan menggunakan computer messange switching system (CMSS). Jurnal Teknik Elektro Universitas
Tanjungpura. 1(1) : 1–9.
Puriwigati, A. 2010. Rancang bangun dan uji kinerja alat pengukur total
suspended particular (tsp) dengan metode high volume air sampling. Institut
Pertanian Bogor. Skripsi.
Sriworo, B.
(2006). Tata Cara Tetap Pelaksanaan Pengamatan dan Pelaporan Data
Iklim dan Agroklimat. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Iklim dan Agroklimat. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Sutiknjo, Tutut D. 2005. Petunjuk Praktikum Klimatologi. Fakultas
Pertanian Universitas Kediri. Kediri.
Suciatiningsih, F. 2013.
Karakteristik kekasapan permukaan dan pengaruhnya terhadap transfer turbulen
momentun dan bahang (studi kasus : wilayah pertanian Situ Gede, Darmaga,
Bogor). Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Tampubolon, S. A. A. 2011.
Kalibrasi sensor solarimeter termal berbagai ukuran.
Tukidi.
(2007). Buku Ajar Meteorologi dan Klimatologi. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu
Sosial. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Tjasyono,
H. K. 2004. Klimatologi. ITB Press.
Bandung.
Triatmodjo, B. (2008). Hidrolika II. Beta Offset, Yogyakarta.
Vitri,Triana dan Marzuki. 2014. Analisis pengaruh El Nino Southern Oscilation (ENSO)
terhadap curah hujan di kota Tabang Sumatera Barat. Jurnal Fisika Unand. 3(4)
: 214-221.
Wirjohamidjojo,
S. 2009. Praktek Meteorologi Kelautan.
Jakarta.

ACARA
II
PENGAMATAN
PERAWANAN
![]() |

PENDAHULUAN
Awan adalah kumpulan titik-titik
air dan es yang melayang-layang di atmosfer sebagai hasil proses kondensasi
yang terdapat pada ketinggian tertentu yang disebabkan karena naiknya udara
secara vertikal karena proses pendinginan udara secara adiabatik di atmosfer.
Proses terbentuknya awan yaitu panas dari matahari akan menyebabkan air dilaut
dan di darat menguap. Uap air yang hangat tersebut akan bergerak naik keatas,
lalu uap air mulai menjadi dingin. Hasilnya, uap air tersebut mulai berkondensasi
membentuk kembali butiran-butiran air. Awan memegang peranan penting untuk menampung uap air.
Fungsi awan antara lain yaitu dapat memperkirakan arah angin, meramalkan cuaca,
melindungi pancaran lansung dari sinar ultraviolet.
Macam-macam jenis awan yaitu jenis
awan udara naik, diantaranya awan Kumulonimbus dan awan Kumulus. Jenis Awan rendah,
ketinggian kurang dari 3 km. Jenis-jenis awan yang tergolong awan rendah, yaitu
awan Nimbostratus, awan Stratus dan awan
Stratokumulus. Kelompok awan menengah terdiri dari awan Saltotratus dan awan
Altokumulus. Kelompok awan tinggi merupakan awan yang terdapat pada
ketinggian antara 6-12 km. Awan terdiri dari kristal-kristal es karena
ketinggiannya.tinggi yang terdiri dari awan
Sirokumulus, awan Sirus, dan awan Sitrosratus.
Praktikum
ini bertujuan untuk mengetahui macam-macam bentuk awan dan juga untuk
memberikan pengertian kemungkinan terjadinya hujan dengan melihat kondisi cuaca
beberapa waktu sebelumnya. Manfaat dari praktikum ini adalah untuk mengetahui
jenis-jenis awan dan ciri-ciri yang dimiliki awan tersebut, serta mengetahui
suhu dan kelembaban udara di waktu tertentu.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tipe-tipe Awan
Awan
merupakan butir-butir air yang berukuran sedemikian kecil yang menghasilkan
bentuk-bentuk yang berbeda. Fungsi dari awan adalah untuk memperkirakan cuaca
yang akan terjadi. Jenis dan tipe awan bergantung pada rupa atau bentuk dari
partikel pembentuknya (Yacob et al.,
2007). Tipe awan berdasarkan dari
ketinggiannya terbagi menjadi awan horizontal dan awan vertikal (Saputra et al., 2015).
2.1.1. Awan Horizontal
Awan
horizontal adalah awan berserat kristal es yang membentuk lapisan, yang
berdasarkan ketinggiannya awan horizontal dapat dibagi menjadi awan rendah,
awan sedang serta awan tinggi (Yani dan Ahmad, 2008). Awan tinggi adalah awan
yang tidak dapat menimbulkan hujan karena awan ini berada pada ketinggian lebih
dari 6 km di atas permukaan laut, awan sedang berada pada ketinggian 2-6 km di
atas permukaan laut dan awan rendah berada di ketinggian pada ketingian kurang
dari 2 km di atas permukaan laut serta awan rendah merupakan awan yang dapat
menimbulkan hujan (Mart, 2005).
2.1.1.1. Awan Rendah
Awan rendah merupakan klasifikasi dari awan
horizontal dan termasuk awan yang sangat dekat dengan bumi serta memiliki
tingkat potensi terjadinya hujan sangat tinggi (Aldrian et al., 2011). Tipe awan rendah mempunyai ketinggian dasar kurang
dari 2 km dan awan rendah dapat dibagi menjadi awan Nimbostratus, Stratocumulus
dan Stratus (Ayu, 2011). Nimbostratus merupakan awan dengan ciri kelabu gelap,
Stratocumulus merupakan awan dengan ciri awannya tidak merata serta Stratus
adalah lapisan awan berwarna kelabu merah, terlihat seperti lapisan kapas tipis
yang menyelimuti seluruh angkasa dan mengakibatkan hujan ringan (Kodoatie dan
Sjarief, 2010).
2.1.1.2. Awan Sedang
Awan sedang merupakan awan yang
berada di bawah awan tinggi yaitu pada ketinggian antara 2-6 km dan awan sedang
dibagi menjadi awan Altocumulus dan awan Altostratus (Untara, 2014). Awan
Altocumulus yaitu awan yang dengan ciri-ciri seperti altostratus tetapi lebih
rendah dan lembut dan berwarna abu-abu terang, sedangkan awan altostratus
merupakan awan dengan ciri-ciri lapisan awan berwarna kelabu kebiruan serta
berbentuk seperti selendang tebal (Yani dan Ruhimat, 2007). Awan
sedang memiliki tingkat potensi terjadinya hujan apabila awan sedang memiliki
ketebalan yang cukup tebal (Latifa, 2013).
Awan
Altocumulus adalah awan berwarna kelabu atau putih dilihat pada waktu senja, biasanya
berbentuk seperti bola yang agak tebal, serta awan ini bergerombol dan sering
berdekatan sehingga dapat dilihat tampak saling bergandengan (Untara, 2014). Awan
Altostratus merupakan
awan yang berbentuk seperti selendang yang tebal, berwarna abu-abu dan berserat serta
seragam, serta bagian yang menghadap
bulan atau matahari nampak lebih terang dan diantara awan ini terdapat awan-awan
Cirrostratus (Latifa, 2013)
2.1.1.3. Awan Tinggi
Awan
tinggi terletak pada ketinggian 6 – 18 km di kawasan tropis, kawasan iklim
sedang terletak pada ketinggian 5 – 13 km, dan kawasan kutub terletak pada
ketinggian 3 – 8 km (Benyamin, 2002). Awan yang tergolong dalam awan tinggi memiliki nama awalan “cirro” atau “cirrus” sehingga awan yang tergolong kedalam awan tinggi
dikelompokkan menjadi awan Cirrus, awan Cirrostratus, dan awan Cirrocumulus
(Latifa, 2013).
Awan cirrus merupakan awan yang
sangat tinggi yang terbentuk di troposfer sekitar 11 km atau lebih yang
terpisah-pisah berwarna putih dan tipis, halus dan bergaris-garis yang terlihat
seperti bulu-bulu ringan dan bisa bertahan lama (Nicholson, 2005). Awan
Cirrostratus merupakan awan yang berbentuk seperti kelambu putih halus, sering
menimbulkan lingkaran pada matahari atau bulan yang dinamakan gejala Halo
(Rumondang, 2011). Awan Cirrocumulus tampak menyerupai butir padi berwarna
putih, terdiri atas kristal es, terbentuk dalam udara cerah (Richard dan
Spilsbury, 2011). Awan Cirroskumulus terbentuk dalam udara cerah serta selalu
cukup transparan sehingga posisi bulan atau matahari yang ada dibaliknya dapat
diketahui dan berpotensi tidak menimbulkan hujan (Prawirowardoyo, 2000). Awan
Cirrotratus menandakan bahwa akan turun hujan pada 12 – 24 jam berikutnya
(Andika, 2008). Awan cirrus awan yang tidak dapat menimbulkan hujan (Kamir,
2009).
2.1.2. Awan
Vertikal
Awan vertikal merupakan awan yang
tebal dengan puncak yang tinggi terbentuk pada siang hari karena udara yang
naik yang berada pada ketinggian 500 – 1000 m (Karmini, 2000). Awan yang
tergolong dalam awan vertikal biasanya awan dengan nama depan “cumulus” atau “cumulo” yaitu awan Cumulus dan awan Cumulonimbus (Hadi, 2013). Awan
ini dihasilkan oleh kantong udara yang hangat dan lembab yang masih mampu naik
sampai ketinggian yang cukup tinggi setelah melewati arus kondensasi
(Rumondang, 2011).
Awan cumulus menandakan cuaca
tetap panas dan kering, namun jika terdapat gumpalan awan yang hitam bisa
terjadi hujan (Imania, 2015). Awan Cumulus terlihat seperti timbunan kapas yang
berbentuk seperti bunga kubis dan
sewaktu-waktu membentuk barisan
(Richard dan Spilsbury, 2011).
Awan Cumulonimbus merupakan awan yang sangat
padat dan lebar, menjulang vertikal sangat tinggi, bagian atasnya terdiri dari
es yang membentuk serat-serat (Ayu, 2011). Awan ini terletak pada ketinggian
kira-kira 1000 kaki dan puncaknya punya ketinggian lebih dari 3500 kaki (Hadi,
2013). Awan Cumulonimbus dapat menimbulkan hujan besar, disertai kilat dan
guntur, serta terkadang disertai hujan es (Yani dan Ruhimat, 2007).
2.1.2.1. Awan Cumulonimbus
Awan Cumulonimbus merupakan awan yang terlihat berat dan
menjulang tinggi sekali menyerupai gumpalan yang besar, bagian atasnya terdiri
dari es yang membentuk serat-serat dan memiliki warna kelabu kehitam-hitaman
atau berwarna gelap serta meluas (Yani dan Ruhimat, 2007). Awan Cumolonimbus
juga sering disebut awan ribut (Malek dan Hamzah, 2006). Awan ini menjulang
vertikal yang sangat tinggi, padat, dan terlibat dalam pembentukan badai petir
(Fadhloli et al., 2011). Awan Cumulonimbus
berada pada ketinggian 6-8 km diatas tanah biasanya terbentuk ketika awan Kumulus
bertambah banyak yang disebabkan oleh pengembangan udara panas (Richard dan
Spilsbury, 2011).
2.2. Pengaruh
Awan terhadap Cuaca dan Iklim
Iklim
adalah rata-rata keadaan cuaca dalam jangka satu periode yang biasanya dihitung
pertahun (Kartasapoetra, 2004). Unsur-unsur
iklim yaitu radiasi matahari, temperatur, kelembaban, hujan, dan angin
(Benyamin, 2002). Awan dapat berpengaruh terhadap iklim karena unsur-unsur
iklim merupakan unsur yang mempengaruhi proses terbentuknya awan (Indahsari,
2014). Cuaca adalah kondisi
temperatur udara yang terjadi sementara pada wilayah tertentu dan sewaktu waktu
bisa berubah ubah secara mendadak (Ruwanto, 2006). Awan dapat mempengaruhi
cuaca disebuah wilayah dengan wilayah lainnya karena kondisi dan bentuk awan
dapat dilihat untuk mengetahui dan memprediksi dengan akurat tentang apa, kapan
dan bagaimana cuaca akan terjadi hari ini, besok, lusa bahkan minggu depan
(Hadi, 2013). Bentuk awan akan sangat mempengaruhi cuaca, misalnya awan cumulus
yang terlihat cerah dan terik maka akan menyebabkan hawa panas dan suhu menjadi
tinggi (Latifa, 2013).

MATERI
DAN METODE
Praktikum
klimatologi dengan materi pengamatan perawanan dilaksanakan mulai dari tanggal
14 September hingga pada tanggal 27 September dalam kurun waktu empat belas
hari, dengan waktu pengamatan dibagi menjadi tiga yaitu pagi, siang dan sore.
Lokasi pengamatan di Jl.
Timoho Timur II No 8, di depan PKM Fakultas Peternakan dan Pertanian Undip dan
di PP Kyai Galang Sewu Jl. Jurang Belimbing RT 3 RW 4 Tembalang.
3.1. Materi
Materi yang digunakan dalam
praktikum acara ini terdiri dari komponen alat dan bahan. Bahan yang digunakan
dalam praktikum ini adalah data awan, curah hujan, suhu dan kelembaban udara
untuk menentukan hasil pengamatan. Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu
kamera untuk mengambil gambar dokumentasi awan dan psikrometer untuk mengukur
suhu dan kelembaban.
3.2. Metode
Metode yang diterapkan dalam
praktikum acara ini adalah memilih lokasi pengamatan awan pada tiga waktu
pengamatan yang berbeda (pagi, siang dan sore). Mengamati lingkungan pengamatan
selama empat belas hari, mencatat suhu dan kelembaban menggunakan alat psikrometer dan mengambil
gambar awan yang tampak menggunakan kamera. Mengelompokan data pengamatan
menjadi dua kelompok, yaitu minggu ke I dan minggu ke II, kemudian
mengkomparasikan kedua kelompok pengamatan dan menganalisis pengaruh bentuk dan
jenis awan terhadap indikator cuaca dan iklim (suhu, kelembaban dan curah hujan)
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengamatan Perawanan Minggu ke-I
Berdasarkan
pengamatan awan, dan pencatatan indikator suhu, kelembaban, dan curah hujan
yang tampak pada minggu ke-I didapatkan pengelompokan data berdasarkan tabel
berikut:
Tabel 1. Pengamatan Perawanan
Minggu ke-I
Hari ke-
|
Waktu
pengamatan
|
Rata-rata suhu
(°C)
|
Rata-rata
kelembaban (%)
|
||
Pagi
|
Siang
|
Sore
|
|||
1.
|
![]()
Awan
Stratus
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Awan
Stratus
|
35
|
63,6
|
2.
|
![]()
Awan Stratus
|
![]()
Awan Altostratus
|
![]()
Awan Altostratus
|
32,6
|
59,3
|
3.
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Awan Nimbostratus
|
31,5
|
61,6
|
4.
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Awan Altokumulus
|
![]()
Awan Nimbostratus
|
31,6
|
67,6
|
5.
|
![]()
Awan Kumulus
|
![]()
Awan Stratus
|
![]()
Awan Stratus
|
28,8
|
71,3
|
6.
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Awan Stratus
|
30,3
|
66
|
7.
|
![]()
Awan Stratus
|
![]()
Awan Sirostratus
|
![]()
Awan Stratus
|
31,6
|
67,3
|
Rata-rata (Minggu ke-I)
|
31,6
|
65,2
|
Sumber: Data
Primer Praktikum Klimatologi, 2017.
Berdasarkan data pada pada tabel diatas, dapat diketahui
bahwa rata-rata suhu dan kelembaban minggu ke I di lingkungan pengamatan adalah
31,6°C
dan 65,2%, dan jenis awan yang paling sering muncul dalam pengamatan
satu minggu adalah awan jenis Stratus, berdasarkan analisis terhadap pengaruh
tipe awan terhadap tingkat suhu dan kelembaban, dapat dikatakan bahwa jenis
awan Stratus yang paling sering muncul pada pengamatan
satu minggu memiliki ciri awannya
terbentang lebar mebentuk warna kelabu dan
membawa hujan
gerimis ringan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rumondang (2011) yang menyatakan
bahwa awan Stratus adalah awan yang melebur seperti kabut, seringkali terbentuk
dari kabut yang naik dan biasanya hujan yang dihasilkan yaitu hujan ringan.
Awan Stratus berpengaruh terhadap suhu udara dan kelembaban udara. Hal ini
sesuai dengan pendapat Murtianto (2008) yang menyatakan bahwa awan Stratus
berpengaruh terhadap kelembaban karena jika awan Stratus menyentuh permukan
bumi akan membentuk kabut sehingga akan berpengaruh terhadap suhu udara. Awan
Stratus memungkinkan terjadi hujan, sehingga pengamatan selama minggu ke I pernah
terjadi hujan. Keadaan awan mempengaruhi rata-rata suhu dan kelembaban udara. Awan dapat mempengaruhi curah hujan sehingga juga berpengaruh
terhadap cuaca dan iklim. Hal ini sesuai dengan pendapat Pradipta et al. (2013) yang menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi iklim yaitu suhu udara, kelembaban dan kecepatan
angin.
Rata-rata
suhu udara pada pengamatan minggu pertama yaitu 31,6°C, dimana suhu tersebut
tergolong dalam kategori suhu rata-rata yang ada di Indonesia. Hal ini sesuai
dengan pendapat Karyono (2001) yang menyatakan bahwa suhu udara rata-rata di
Indonesia yang merupakan wilayah tropis yaitu berkisar antara 26-36°C. Sedangkan kelembaban udara pada pengamatan minggu pertama yaitu 65,2%, dimana kelembaban udara
tergolong tinggi. Hal ini sesuai pendapat Sartika dan Poerwanto (2010) yang
menyatakan bahwa kelembaban udara di Indonesia selalu tinggi yaitu diatas 60%.
Pengamatan pada hari ke 1 dan 2 terjadi penurunan suhu yang diikuti penurunan
kelembaban. Apabila suhu tinggi maka kelembaban rendah, begitupun sebaliknya.
Pada pengamatan hari ke-1 dan ke-2 terjadi penurunan suhu udara diikuti oleh
penurunan kelembaban udara yang dikarenakan oleh adanya perubahan iklim global
yang terjadi di bumi. Hal ini sesuai dengan pendapat Astra (2010) yang menyatakan
bahwa peningkatan pembakaran bahan bakar fosil adalah penyebab utama polusi
udara, sehingga mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim di bumi.
4.2. Pengamatan Perawanan Minggu ke-II
Berdasarkan pengamatan awan, dan
pencatatan indikator suhu, kelembaban, dan curah hujan yang tampak pada minggu
ke-II didapatkan pengelompokan data berdasarkan tabel berikut:
Tabel
2. Pengamatan Perawanan Minggu ke-II
Hari
|
Waktu
pengamatan
|
Rata-rata
suhu (oC)
|
Rata-rata
kelembaban (%)
|
||
Pagi
|
Siang
|
Sore
|
|||
1
|
![]()
Cirrus
|
![]()
Altostratus
|
![]()
Cumulus
|
31
|
65,3
|
2
|
![]()
Cirrus
|
![]()
Altostratus
|
![]()
Cumulus
|
31,3
|
61
|
3
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Altostratus
|
![]()
Cirrus
|
31,3
|
63,7
|
4
|
![]()
Nimbostratus
|
![]()
Culumus
|
![]()
Nimbostratus
|
29,7
|
73
|
5
|
![]()
Cirrus
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Nimbostratus
|
30,3
|
69,7
|
6
|
![]()
Cumulus
|
![]()
Cumulus
|
![]()
Nimbostratus
|
31,7
|
70
|
7
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Cumulus
|
![]()
Cumulus
|
31,7
|
68,7
|
Rata-rata (Minggu ke-II)
|
31
|
67,3
|
Sumber : Data Primer Praktikum Klimatologi, 2017.
Berdasarkan data pada tabel
diatas, dapat diketahui bahwa rata-rata suhu dan kelembaban yang terjadi pada
minggu ke II dilingkungan pengamatan adalah 31oC dan 67,3% dan jenis
awan yang paling sering muncul pada pengamatan minggu ke II yang dilakukan
selama satu minggu adalah awan jenis Cumulus. Awan jenis Cumulus mempunyai ciri-ciri
sebagai barikut yaitu letaknya rendah dengan kondisi awan yang tidak menyatu
atau terpisah-pisah, pada bagian dasarnya berwarna hitam dan di atasnya putih
dan pada awan cumulus menghasilkan hujan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Rumondang (2011) yang menyatakan bahwa ciri-ciri jenis awan Cumulus (Cu) adalah
berbentuk seperti kubah dengan dasar vertikal, biasanya terbentuk pada siang
hari dalam udara yang bergerak naik, bagian yang tersinari cahaya matahari
berwarna kelabu dan bagian yang berhadapan dengan matahari terang. Keadaan awan
pada suatu daerah dapat mempengaruhi rata-rata suhu dan kelembaban yang
dicatat. Awan Cumulus yang berada di atmosfer menyebabkan berkurangnya radiasi
matahari yang diterima dipermukaan bumi karena radisi mengenai awan sehingga
akan dipantulkan, dipancarkan dan diserap oleh uap air yang ada dalam awan,
sehingga dapat menyebabkan suhu yang terdapat pada permukaan bumi rendah. Hal
ini sesuai dengan pendapat Fadholi (2013) yang menyatakan bahwa awan Cumulus
dapat mempengaruhi suhu dan kelembaban yang tercatat disuatu daerah karena
adanya awan Cumulus dapat menghalangi pancaran radiasi matahari ke permukaan
bumi sehingga menyebabkan suhu lebih rendah dan kelembabannya tinggi karena
terdapat banyak uap air dalam awan dan udara yang mempunyai potensi hujan.
Daerah pengamatan mempunyai
rata-rata suhu sebesar 31oC yang termasuk pada daerah yang mempunyai
suhu sedang dan juga mempunyai kelembaban udara yang dapat digolongkan pada
daerah sedang dengan rata-rata sebesar 67,3%. Hal ini sesuai dengan pendapat
Setiawati (2012) yang menyatakan bahwa pada daerah tropis dapat mempunyai suhu
udara sedang dengan rata-rata 27-32 oC, suhu udara minimum atau
dengan rata-rata 20-23 oC dan mempunyai kelembaban udara relatif
ideal yang dapat menyebabkan manusia beraktivitass dengan nyaman mempunyai
kisaran rata-rata sekitar 40-75%, kelembaban udara kurang dari 40% termasuk
daerah yang mempunyai kelembaban udara rendah sedangkan kelembaban udara
76-100% termasuk pada kategori kelembaban udara tang relatif tinggi. Semakin
tinggi suhu udara maka menaikkan juga kelembaban udara begitu juga sebaliknya,
hal tersebut dikarenakan semakin meningkatnya titik jenuh uap air. Hal ini
sesuai dengan pendapat Rilatupa (2008) yang menyatakan bahwa suhu udara yang semakin
tinggi, akan mengakibatkan kelembaban udaranya juga semakin naik begitu juga
sebaliknya karena titik jenuh uap air semakin meningkat, sehingga mengakibatkan
daya serap terhadap uap air juga tinggi.
4.3. Perbandingan Pengamatan Minggu ke I dan
II
Berdasarkan
kedua kelompok pengamatan minggu ke-I dan II yang telah dibahas, dapat
dibandingkan hasil pengamatannya berdasarkan tabel dibawah ini:
Tabel 3. Perbandingan Pengamatan
Minggu ke I dan II
Paramater
|
Minggu ke I
|
Minggu ke II
|
Suhu (°C)
|
31,2
|
31
|
Kelembaban (%)
|
65,6
|
67,3
|
Banyak hari
hujan
|
1 hari
|
4 hari
|
Jenis awan yang
paling sering muncul
|
Awan Stratus
|
Awan
Nimbostratus
|
Sumber: Data Primer Praktikum Klimatologi, 2017.
Berdasarkan analisis perbandingan minggu I dan II
didapatkan hasil yang signifikan berdasarkan intensitas dan kelembaban yang ada
menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu nyata. Pada minggu I memiliki suhu
rata-rata 31,2oC dan rata-rata kelembaban 65,6%, hal ini terjadi
karena awan yang dihasilkan merupakan awan Stratus. Awan Stratus merupakan awan
yang paling dekat dengan permukaan bumi dan memiliki kandungan uap air yang
sedikit. Dilihat dari persentase kelembaban, minggu I memiliki persentase
kelembaban lebih rendah dibandingkan minggu II, hal ini menyebabkan kandungan
uap air pada minggu I lebih sedikit dibanding minggu II sehingga menghasilkan awan
Stratus. Hal ini sesuai dengan pendapat Hermawan dan Handayati (2007) bahwa air yang terkandung di awan bergantung
pada tingkat kelembaban suatu wilayah. Pada minggu I, keberadaan awan hanya
sedikit, hal ini dikarenakan kurangnya proses penguapan sehingga sedikitnya
gumpalan awan yang mengakibatkan intensitas hujan yang dihasilkan pada minggu I
hanya terjadi satu hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Tongkukut (2011) bahwa
adanya gumpalan awan berasal dari uap air berdasarkan tingkat kelembaban udara.
Pada
minggu II didapatkan hasil rata-rata suhu 31oC dan rata-rata
kelembaban 67,3% dan awan yang sering muncul adalah Nimbostratus. Berdasarkan
jenis awan, awan Nimbostratus merupakan awan yang memiliki kandungan uap air
yang besar sehingga menimbulkan hujan gerimis yang stabil dan lama. Hal ini
disebabkan tingginya persentase kelembaban minggu II dibandingkan minggu I
sehingga uap air yang mengendap di awan juga besar. Tingginya kadar uap air yang
mengendap di awan memicu terjadinya hujan, sehingga awan dominan yang ada pada
minggu II yaitu awan Nimbostratus. Hal ini sesuai dengan pendapat Belyaeva et al. (2011) bahwa awan Nimbostratus
adalah awan yang menimbulkan hujan gerimis. Hal ini juga berdampak pada
intesitas terjadinya hujan, minggu II memiliki hari hujan lebih banyak daripada minggu
I. Hal ini sesuai dengan pendapat Navianti et
al. (2012) bahwa curah hujan dipengaruhi oleh kelembaban relatif, suhu,
tekanan udara, banyaknya awan, dan lamanya penyinaran matahari.
4.4. Siklus
Awan
Berdasarkan pengamatan awan, dan
pencatatan indikator suhu, dan kelembaban didapatkan pengelompokan data
berdasarkan tabel berikut :
Tabel 4.
Pengamatan Siklus Awan
Menit ke-
|
Waktu
Pengamatan
|
Rata-rata suhu
(oC)
|
Rata-rata kelembaban
(%)
|
||
Pagi
|
Siang
|
Sore
|
|||
5
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Awan sirrus
|
![]()
Awan stratus
|
30
|
61,7
|
10
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Awan sirrus
|
![]()
Awan stratus
|
29,7
|
61,3
|
15
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Awan sirrus
|
![]()
Awan stratus
|
30
|
60,7
|
20
|
![]()
Tidak ada awan
|
![]()
Awan sirrus
|
![]()
Awan stratus
|
30
|
60,3
|
25
|
![]()
Awan sirrus
|
![]()
Awan sirrus
|
![]()
Awan
nimbostratus
|
29,7
|
61,3
|
30
|
![]()
Awan sirrus
|
![]()
Awan sirrus
|
![]()
Awam
nimbostratus
|
30
|
60,3
|
Rata-rata
|
29,9
|
60,9
|
Berdasarkan pengelompokan data
pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa rata-rata suhu dan kelembaban selama
30 menit pada waktu pengamatan pagi, siang dan sore di lingkungan pengamatan
adalah 29,9°C dan 60,9%. Awalnya tidak ada awan yang muncul pada pagi hari lalu
pada pengamatan menit ke-25 muncul awan Sirrus yang merupakan pertanda suhu
mulai naik dan merupakan pertanda cuaca akan cerah. Munculnya awan Sirrus pada
siang hari menunjukkan cuaca cerah sehingga akan menyebabkan suhu pada siang
hari tinggi dan kelembaban rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Juraida dan
Nursalam (2016) yang menyatakan bahwa munculnya awan Sirrus menunjukkan
tanda-tanda cuaca akan cerah. Munculnya awan Stratus lalu diiringi dengan
munculnya awan Nimbostratus pada sore hari menunjukkan akan turun hujan
sehingga menyebabkan suhu udara rendah dan kelembaban tinggi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Murtianto (2008) yang menyatakan bahwa munculnya awan Stratus
dan awan Nimbostratus menunjukan akan turun hujan dengan intensitas rendah.
Pengamatan menunjukkan bahwa apabila suhu naik maka kelembaban akan turun sedangkan
apabila suhu turun maka kelembaban akan naik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Darjat et al. (2008) yang menyatakan
bahwa jika suhu naik maka kelembaban turun. Faktor-faktor yang mempengaruhi
suhu dan kelembaban yaitu keadaan awan, tekanan udara, pergerakan angin dan
cahaya matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiawan (2009) yang menyatakan
bahwa faktor yang mempengaruhi perubahan suhu dan kelembaban yaitu lama
penyinaran mayahari, keadaan awan, tekanan udara dan pergerakan angin.

SIMPULAN
DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan
praktikum tentang pengamatan perawanan dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis
awan yang berbeda mempengaruhi indikator cuaca dan iklim yang terjadi pada
lokasi pengamatan. Rata-rata suhu dan kelembaban minggu ke I di lingkungan
pengamatan adalah 31,6°C dan 65,2%, dan jenis awan yang paling sering muncul
dalam pengamatan satu minggu adalah awan jenis Stratus, sedangkan rata-rata
suhu dan kelembaban yang terjadi pada minggu ke II dilingkungan pengamatan
adalah 31oC dan 67,3% dan jenis awan yang paling sering muncul pada
pengamatan minggu ke II yang dilakukan selama satu minggu adalah awan jenis
Cumulus. Hasil siklus awan yang diperoleh yaitu rata-rata suhu dan kelembaban
selama 30 menit pada waktu pengamatan pagi, siang dan sore di lingkungan
pengamatan adalah 29,9°C dan 60,9%, dengan jenis awan yang paling sering muncul
adalah awan jenis Sirrus.
5.2 Saran
Saran
yang dapat diberikan untuk menunjang hasil praktikum yang lebih baik adalah
pengamatan awan yang dilakukan dua minggu guna mengetahui rata-rata cuaca
secara keseluruhan dititik lokasi pengamatan. Dalam melakukan pengamatan siang
hari sebaiknya jangan meletakkan alat terlalu lama dibawah sinar matahari agar
hasil yang diperoleh sesuai apa yang diinginkan.

Aldrian, E., M. Karmini, dan Budiman.
2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Indonesia.Jakarta:BMKG.
Andika, G. 2008. Klasifikasi tutupan
awan menggunakan data sensor satelit NOAA/AVHRR APT. Universitas Indonesia.
Skripsi.
Astra, I. M.
2010. Energi dan
dampaknya terhadap lingkungan. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika 11(2) : 131-139.
Ayu, E. 2011. Pengetahuan Luar Angkasa,
Cuaca, dan Fenomena Alam. Yogyakarta : Familia.
Belyaeva M.V , Drofa A.S., Ivanov V.N.,
Kudsy M., Haryanto U., Goenawan, R.D., Harsanti,
D., dan Ridwan . 2011. Studi model untuk peningkatan presipitasi awan konvektif
dengan bubuk garam. Jurnal Sains dan
Teknologi Modifikasi Cuaca. 12(2)
: 37-71.
Benyamin, L. 2002. Dasar-Dasar
Klimatologi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Darjat,
M. Syahadi, I. Setiawan. 2008. Aplikasi
kontrol proporsional integral berbasis mikrokontroler atmega8535 untuk
pengaturan suhu pada alat pengering kertas. Jurnal Aplikasi Kontrol Proporsional
Integral. 21(23) : 313-319.
Donoso,
M. C. 2009. Water Interactions with
Energy Environment, Food and Agriculture. Eolss Publishers. Oxford.
Fadholi, A., F. Puspita, P. Aji, dan R.
Dewi. 2011 Pemanfaatan model weather
reasarch and forecasting (WRF). Jurnal
Fiska dan Aplikasinya. 10(1) :
24-30.
Hadi, A. R. 2013. Ilmu Geografi Umum. PT
Grasindo. Jakarta.
Hermawan, E., dan Y. Handayanti. 2007.
Hubungan air terkandung dengan reflektifitas
radar. Jurnal Sains Dirgantara. 5(1) : 13-26.
Imania,
A. Z. 2015. Upaya meningkatakan rasa ingin tahu dan prestasi belajar IPA
menggunakan model pembelajaran learning Cycle 5E (LC5E) dengan Media Diorama di
Kelas II SDN 3. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Skripsi.
Juraida dan L. O.
Nursalam. 2016. Penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe
think pair share (tps) untuk meningkatkan hasil
belajar geografi studi kasus materi atmosfer pada
siswa kelas x4 SMA Negeri 1 Mawasangka Tengah. Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi. 1(1) : 351-366.
Kamir,
K. 2009. Dasar-Dasar Klimatologi. Universitas Negeri Syiah Kuala, Banda Aceh.
Karmini,
M. 2000. Hujan es (hail) di Jakarta, 20 April 2000. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca. 1(1) : 27-32.
Kartasapoetra,
A.G. 2004. Klimatologi : Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman. Bumi Aksara,
Jakarta.
Kodoatie, Robert J., dan R. Sjarief.
2010. Tata Ruang Air. CV Andi, Yogyakarta.
Latifa, T.R. 2013. Klimatologi Dasar. PT
Grafindo. Jakarta.
Malek, A. A.,
dan H. Hamsah. 2006. Kadet Remaja Sekolah. PTS Professional, Kuala Lumpur.
Mart, T. 2005. Intisari Ilmu Planet
Bumi. Erlangga. Jakarta.
Murtianto, H.
2008. Modul Belajar Geografi. Universitas Pendidikan Indonesia.
Setiawan. 2009. Kajian hubungan unsur
iklim terhadap produktivitas cabe jamu di Kabupaten Sumenep. Jurnal Agrovigor
2(1) : 1-11.
Navianti, D. R.,
I. G. N .R. Usadha, dan F.A. Widjayati. 2012. Penerapan fuzzy inference system pada
prediksi curah hujan di Surabaya Utara. Jurnal
Sains
dan Seni ITS. 1(1) : 23-28.
Nicholson, S.
2005. Cuaca. Erlangga. Jakarta.
Pradipta, N. S., P. Sembiring dan P.
Bangun. 2013. Analisis pengaruh curah hujan di Kota Medan. Jurnal Sains Matematika. 1(5)
: 459-468.
Prawirowardoyo, S. 2000.
Meteorologi. ITB. Bandung.
Richard dan L.
Spilsbury. 2011. Cuaca. Alamedia Sdn. Bhd. Selangor.
Rumondang, D.
2011. Penurunan nilai Albedo dan suhu permukaan dari data Terra Modis LIB untuk
klasifikasi awan. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Ruwanto, B.
(2006). Pengenalan Iklim dan Cuaca. Kanisius, Jakarta.
Prawirowardoyo,
S. 2000. Meteorologi. ITB. Bandung.
Saputra, A. D., S. Priyanto, I.,
Muthohar, dan M. Bhinnety. 2015. Pengaruh kondisi cuaca penerbangan terhadap
beban kerja mental pilot. Jurnal
Transportasi. 1(3) : 159-168.
Suwarsono, P., dan M.
Karthasamita. 2009. Penentuan hubungan antara suhu kecerahan data mtsat dengan curah hujan data qmorph. Jurnal Penginderaan
Jauh. 6(2) : 32-42
Setiawati, P. 2012. Pengaruh ruang
terbuka hijau terhadap iklim makro. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Sofwan,
A. dan P. Winarso. 2005. Rancang bangun
sistem pengendali suhu dan kelembaban udara pada rumah wallet berbasis
mikrokontroler at89c51. Seminar
Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2005, Yogyakarta.
Tongkukut, S. H. J. 2011. El-nino dan
pengaruhnya terhadap curah hujan di manado sulawesi utara. Jurnal Ilmiah Sains. 11(1)
: 102-108.
Untara, W. 2014. Kamus Sains Panduan
Praktis Berbagai Istilah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Indonesia Tera,
Yogyakarta
Yacoob, K.K.K., A.Ali dan M. M. Isa.
2007. Keadaan Laut Perairan Semenanjung Malaysia untuk Panduan Nelayan.
Departemen Penyelidikan dan Pengurusan Sumber Perikanan Marin. Malaysia.
Yani, A., dan M.
Ruhimat. 2007. Geografi Menyingkap Fenomena Geosfer. Grafindo Media Pratama.
Bandung.
Yani
dan Ahmad. 2008. Menyingkap Fenomena Geosfer. Grafindo Media Pratama, Bandung.

Tabel 1. Form
Pengamatan Indikator Cuaca dan Iklim Harian
Hari
ke-
|
Suhu
(pukul)
|
Rata-rata
|
Kelembaban
(pukul)
|
Rata-rata
|
Hari
Hujan
|
||||||
7
|
12
|
17
|
7
|
12
|
17
|
7
|
12
|
17
|
|||
1
|
25
|
51
|
29
|
35
|
82
|
35
|
74
|
63,6
|
-
|
-
|
-
|
2
|
27
|
41
|
30
|
32,6
|
76
|
46
|
56
|
59,3
|
-
|
-
|
-
|
3
|
23
|
39,5
|
32
|
31,5
|
75
|
48
|
62
|
61,6
|
-
|
-
|
-
|
4
|
24
|
40
|
31
|
31,6
|
84
|
49
|
70
|
67,6
|
-
|
-
|
-
|
5
|
24
|
32
|
30,5
|
28,8
|
96
|
44
|
74
|
71,3
|
-
|
-
|
v
|
6
|
24,5
|
37
|
30
|
30,3
|
76
|
56
|
71
|
66
|
-
|
-
|
-
|
7
|
27
|
36,5
|
31,5
|
31,6
|
79
|
54
|
69
|
67,3
|
-
|
-
|
-
|
8
|
25
|
37
|
30
|
30,6
|
80
|
44
|
73
|
65,6
|
-
|
-
|
-
|
9
|
26
|
38
|
30
|
31,3
|
70
|
40
|
72
|
60,6
|
-
|
-
|
v
|
10
|
26
|
38
|
30
|
31,3
|
70
|
40
|
70
|
60
|
v
|
-
|
-
|
11
|
29
|
33
|
29
|
30,3
|
72
|
64
|
84
|
73,3
|
-
|
v
|
-
|
12
|
24
|
32
|
29,5
|
28,5
|
90
|
74
|
72
|
78,6
|
-
|
-
|
-
|
13
|
27
|
36,5
|
32
|
31,8
|
74
|
61
|
74
|
69,6
|
-
|
-
|
-
|
14
|
28
|
36
|
31
|
31,6
|
80
|
50
|
76
|
68,6
|
-
|
-
|
v
|
Sumber: Data Primer Praktikum
Klimatologi, 2017.
Tabel 2. Form
Pengamatan Indikator Cuaca dan Iklim
Minggu ke-I
Parameter
|
Hari ke-
|
Rata-rata
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
||
Suhu (°C)
|
35
|
32,6
|
31,5
|
31,6
|
28,8
|
30,3
|
31,6
|
31,2
|
Kelembaban (%)
|
63,6
|
59,3
|
61,6
|
67,6
|
71,3
|
66
|
67,3
|
65,2
|
Hari hujan
|
-
|
-
|
-
|
-
|
v
|
-
|
-
|
Tidak hujan
|
Sumber: Data Primer
Praktikum Klimatologi, 2017.
Tabel 3. Form
Pengamatan Indikator Cuaca dan Iklim Minggu ke-II
Parameter
|
Hari ke-
|
Rata-rata
|
||||||
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
13
|
14
|
||
Suhu (°C)
|
30,6
|
31,3
|
31,3
|
30,3
|
28,5
|
31,8
|
31,6
|
31
|
Kelembaban (%)
|
65,6
|
60,6
|
60
|
73,3
|
78,6
|
69,6
|
68,6
|
68
|
Hari hujan
|
-
|
V
|
V
|
V
|
-
|
-
|
v
|
hujan
|
Sumber: Data Primer
Praktikum Klimatologi, 2017.
Tabel 4. Perbandingan
Pengamatan Minggu ke I dan II
Paramater
|
Minggu ke I
|
Minggu ke II
|
Suhu (°C)
|
31,2
|
31
|
Kelembaban (%)
|
65,6
|
67,3
|
Banyak hari
hujan
|
1 hari
|
4 hari
|
Jenis awan yang
paling sering muncul
|
Awan Stratus
|
Awan
Nimbostratus
|
Sumber: Data Primer Praktikum
Klimatologi, 2017.
`
makasih gan. sangat berguna
BalasHapusSama2
BalasHapus